Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menilai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang akan menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye Pemilu 2024.
Fahri Hamzah khawatir jika wacana tersebut dilakukan, maka pesta demokrasi akan semakin liar.
“Pesta akan semakin liaaaarrr ….! Dan tentunya akan sangat bahaya bagi demokrasi di Indonesia,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Selasa (12/6/2023).
Menurut Fahri, audit dana kampanye sangat penting dalam menentukan fair atau tidaknya pemilu. Karena dana pemilu adalah salah satu faktor penentu utama kemenangan.
“Bahkan kalau tidak dikontrol dan dibatasi, maka uang bisa menjadi sebab kemenangan utama terutama untuk money politics atau politik uang,” kata Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2015 ini lagi.
Fahri yang merupakan calon legislatif (Caleg) Partai Gelora dari daerah pemilihan atau Dapil NTB I ini pernah menyebutkan bahwa guna menghindari poltik uang, ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd.
“Pembiayaan yang dibiayai 100 persen oleh negara ini, untuk mengantisipasi keterlibatan dari tim dirty money dan ilegal money ke dalam pemilihan di pemilu dan partai politik,” terangnya.
Lebih ekstrem lagi, adalah dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Tetapi tentunya harus ada regulasi yang ketat agar dana yang dikumpulkan untuk kegiatan pemilu, tidak boleh jatuh kepada pembiayaan pribadi.
“Sedang pembiayaan dengan sistem hibryd, sepertinya kita ingin memakai ini. Tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam pemilu di kita itu masih terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan pemilu berbasis kepada uang pribadi,” demikian Fahri Hamzah.
Seperti diketahui, KPU RI diketahui tidak memuat pasal yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye.
Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023 lalu menyetujui rancangan peraturan tersebut. Beleid itu akan segera diundangkan.
Padahal, pasal yang mewajibkan LPSDK selalu ada dalam regulasi KPU pada setiap gelaran pemilu dan pilkada sejak tahun 2014.
Ketika LPSDK resmi dihapuskan, maka semua peserta Pemilu 2024, mulai dari pasangan capres-cawapres hingga partai politik, tidak lagi wajib melaporkan sumbangan kampanye kepada KPU segera setelah dana diterima selama masa kampanye.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menilai kebijakan KPU RI menghapus ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan dana sumbangan kampanye yang diterimanya, membuat pihaknya kesulitan mengawasi aliran dana sumbangan kampanye dalam gelaran Pemilu 2024.
Partaigelora.id – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjadwadlkan untuk menyampaikan putusan mengenai gugatan sistem proporsional pemilu pada Kamis (15/6/2023) esok.
Putusan ini paling ditunggu oleh berbagai pihak, apakah pelaksanaan Pemilu 2024 tetap sistem pemilu terbuka, diubah menjadi tertutup atau ada alternatif lain.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap para Hakim yang mulia di MK memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan tertutup.
Sebab dalam demokrasi, apabila itu menyangkut kepentingan umum dan terkait dengan masyarakat banyak, maka semakin terbuka, artinya akan semakin demokratis.
“Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi, serta tradisi pemilu demokratis atau demokrasi dalam pemilu. Karena sesungguhnya, kalau kita bicara tradisi demokrasi, maka tradisinya adalah masyarakat terbuka dan pemilu terbuka,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Senin (12/6/2023).
Menurut Fahri, bangsa ini tidak bisa kembali lagi kebelakang menganut paham tertutup, yakni paham otoriter dan paham masyarakat tertutup.
Karena Indonesia sudah membuka diri sebagai negara demokratis, dan hasilnya luar biasa bagi kemajuan umum, kecerdasan umum, serta menumbukan kesadaran bahwa semuanya bertanggungjawab terhadap perbaikan bangsa Indonesia ke depan.
“Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar semua berpartisipasi bagi kebaikan bersama,” tegasnya.
Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 ini menganggap sistem proporsional tertutup, apalagi dalam pemilihan anggota Legialatif akan sangat membahayakan demokrasi. Pasalnya, partai akan menjadi pemegang kontrol penuh terhadap kadernya yang duduk di DPR RI maupun DPRD Kabupaten/Kota, bukan lagi rakyat.
“Sistem tertutup itu berbahaya, karena kontrol pimpinan partai kepada anggota dewan akan makin kencang. Dalam sistem proporsional tertutup, siapapun yang menjadi anggota dewan akan ditentukan penuh oleh mekanisme partai, yakni dipilih oleh ketua umum,” sebut Fahri.
Jika rakyat hanya memilih partai politik saja, kata Fahri, maka siapapun yang dipilih partai untuk menjadi anggota dewan, kontrol akan dilakukan oleh partai politik secara menyeluruh.
“Maka anggota dewan bisa disuruh diam, tidak perlu dengar rakyat. Kamu diam, dengerin ketua umum. Karena nyawamu di ketua umum, nyawamu di sekjen, maka kamu diam. Saya bilang diam kamu diam,” ujarnya.
Berbeda jika sistem proporsional terbuka, dimana dalam pemilu rakyat akan memilih secara langsung individu-individu calon anggota legislatif.
Seluruh kontrol, lanjutnya, bisa dilakukan oleh rakyat, bahkan konsekuensi elektoral bisa diterima jika performanya tidak baik saat menjabat.
“Kalau kita (pakai sistem proprosional) terbuka rakyat yang milih. Saya kalau salah nggak akan terpilih lagi oleh rakyat,” terang Fahri.
Oleh sebab itu, dalam konteks perdebatan apakah sistem proporsional tertutup atau terbuka, dan saat ini perselisihannya sudah ada di tangan majelis hakim MK, maka Fahri Hamzah menyarankan agar sistem yang berjalan nanti berdasarkan putusan hakim konstitusi adalah proporsional terbuka.
“Harus tetap terbuka, sistemnya harus terbuka,” tegas calon legislatif Partai Gelora dari Dapil NTB I ini.
Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, Partai Gelora telah menyiapkan dua skenario dalam menghadapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sistem proporsional pemilu.
“Kita di Partai Gelora ini sudah pasti mendukung yang sudah ada, sistem proporsional terbuka. Tapi kan kita jauh dari jangkauan MK, kita nggak tahu keputusan apa yang akan diambil MK. Tapi sebagai partai kita menyiapkan duanya-duanya, artinya baik untuk proposional terbuka atau tertutup,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Sabtu (10/6/2023).
Menurut Anis Matta, apa yang disampaikan Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Mei 2023 lalu, itu bukan sebuah bocoran putusan MK.
“Bocoran dari Denny Indrayana, itu bukan sebuah putusan, kita tidak tahu itu apa, karena kita tidak punya jangkauan untuk mempengrahui keputusan itu,” katanya.
Dalam pelaksanaan sistem proporsional terbuka pada Pemilu seperti sekarang, menurut Anis Matta, partisipasi individunya sekarang sangat tinggi. Artinya, kedaulautan rakyatnya tidak terganggu, terlihat dari partisipasi individunya yang kuat juga.
Tetapi, jika sistem pemilunya nanti diganti tertutup, maka yang akan berkurang secara signifikan adalah partisipasi individu. Dimana Kedaulatan partai lebih besar, dan partisipasi individu lebih rendah.
“Jadi dalam proporsional sudah terbuka partisipasi individu pasti lebih tinggi, tapi dalam proporsional tertutu, kedaulatan partai lebih besar, tapi partisipasi individu lebih rendah,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah berharap agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan sistem proporsional tertutup.
Sehingga rakyat tetap didorong untuk terus menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil mereka secara langsung.
“Mudah-mudahan saja sistem Pemilu ke depan tetap terbuka agar rakyat kita bisa dorong untuk menggunakan hak pilih nya dalam menentukan wakil mereka langsung dan tidak disabotase oleh kepentingan partai politik,” kata Fahri Hamzah.
Pemilu 2024, kata Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menilai adalah Pemilu paling krusial, karena akan menentuka, apakah ke depan ini sentralisasi dan oligarki akan semakin mengental atau memudar.
“Jadi wakil rakyat harus berkaca dan mengajak diri bahwa selama ini mereka terlalu melayani kehendak partai politik dan pengurusnya daripada mau melayani kepentingan rakyat yang memilihnya,” tegas Fahri.
Optimis ke Senayan
Dalam kesempatan ini, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengaku optimis Partai Gelora akan lolos ke Senayan dan mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen, apapun sistem pemilu yang akan digunakan, apakah terbuka atau tertutup.
“Insya Allah, kita optimis lolos ke Senayan. Target kita realitis yakni dapat memenuhi ambang batas parlemen 4 persen. Kita yakin, karena masih ada ceruk sekitar 52 persen pemilih pemula, menengah dan tua yang belum menentukan pilihan yang bisa diperebutkan,” katanya.
Saat ini, kata Anis Matta, ada pemilih pemula atau gen Z yang belum menentukan pilihan, dan akan menentukan pilihannya diakhir-akhir.
Tetapi, ceruk pemilih pemula ini menyatu dengan pemilih menengah dan pemilih tua yang juga belum menentukan pilihannya.
“Yang membedakan mereka adalah sumber kegelisahan, sumber kekecewaan dan sumber harapannya. Mereka semua gelisah dengan masa depannya, dan berharap lahirnya partai baru,” ujarnya.
Mereka ingin ada partai baru yang bisa memperjuangkan harapan mereka ini, dimana pemilih ini tersebar di seluruh kelompok umur.
“Kalau anda tidak puas dengan hidup anda, anda pasti akan berharap lahirnya partai baru. Dan kalau anda kecewa dengan parrtai sekarang, karena tidak bisa memperjuangkan hidup anda, anda pasti berharap lahirnya partai baru. Karena partai baru bisa mengubah situasi hidup anda. Artinya pemilih ini tidak menjadi pemilih tradisional, angkanya mencapai 52 persen, itu sangat besar untuk diperebutkan ceruknya,” pungkas Anis Matta.
Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, perlunya menyusun satu perspektif baru dalam sistem pendidikan saat ini untuk menjadikan Indonesia sebagai superpower baru.
“Kalau kita mau menjadi negara super power mesti ada drive sumber nasionalisme baru bagi Indonesia. Karena yang kita tatap ini adalah masa depan kita, tahapan sejarah kita ke depan. Kita harus membuat satu penyesuaian tentang sistem pendidikan kita yang bisa menjadi fondasi ke arah itu,” kata Anis Matta, Rabu (7/6/2023) sore.
Hal itu disampaikan Anis Matta saat memberikan pengantar dalam diskusi Gelora Talks bertajuk ‘ Mutiara Bangsa di Mancanegara: Menuju Indonesia Mendunia’, yang dihadiri Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas yang juga Menristek/Kepala BRIN 2019-2021 Bambang Brodjonegoro dan Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji.
Menurut Anis Matta, penyesuaian terhadap sistem pendidikan itu, harus dilakukan melalui perubahan total atau revolusi sistem pendidikan di Indonesia, termasuk mencakup penyelesaian masalah kesehatan dalam jangka panjang seperti stunting.
“Ada sepertiga dari populasi kita yang lahir stunting, ini akan membuat negara dan masyarakat terus terbebani karena akan menjadi generasi yang tidak produktif. Sehingga kita bayangkan betapa tidak seimbangnya masyarakat kita,” katanya.
Karena itu, kata Anis Matta, persoalan stunting ini harus segera diatasi agar menghasilkan generasi produktif, selain memberikan akses yang luas terhadap proses pembelajaran masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.
“Memberikan akses tidak terbatas kepada masyarakat terhadap ilmu pengetahuan itu, maksudnya bukan memberikan akses informasi lewat internet, tapi kita perlu menjadikansekolah sebagai sumber pembelajaran, bukan bimbel (bimbangan belajat). Artinya, negara perlu memberikan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi,” katanya.
Sebab, berdasarkan Databoks 2022, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Asia Tenggara pada 2020, pendidikan orang Indonesia berumur 19-23 yang aktif di perguruan tinggi hanya mencapai 36,31 persen.
“Bandingkan dengan Singapura orang yang berumur 19-23 tahun 90 %-nya itu mengambil pendidikan tinggi. Di Indonesia orang yang berumur 19-23 hanya 36,31 persen. Ini yang mestinya kita kejar menjadi misalnya, 100% atau paling tidak 90 %,” ujarnya.
Saat ini, tidak hanya kalah jauh dari Singapura, kata Anis Matta, orang Indonesia yang berumur 19-23 mengambil pendidikan tinggi juga kalah dari Malaysia (43 %) dan Thailand (49,29 %). Indonesia yang menempati posisi keempat hanya unggul tipis dari Filipina (35,52%) dan Brunei Darusssalam (32 %).
“Ini menjadi tantangan besar buat kita untuk menjadikan sebuah fondasi dari sebuah bangsa, karena kita selalu menghadapi kontradiksi dalam mekanisme demokrasi pasar setiap 5 tahun, yang selalui ada evaluasi dan performance-nya dalam sistem pendidikan, tidak ada keberlanjutan, sehingga kita sulit menemukan pemimpin yang baik, pemimpin yang visioner,” katanya.
Orientasi pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia saat ini, lanjut Anis Matta, sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang geopolitik pasca perang dingin antara kutub barat dan timur.
“Di blok barat , Amerika dan Inggris menjadikan dua negara utama ini sebagai pusat pendidikan dunia seperti membangun kembali Jepang, Korea Jerman melalui pendidikan, industri dan bisnis militernya. Sedangkan blok timur menjadikan Uni Soviet sebagai pusat pendidikan, sehingga banyak orang yang dikirimkan ke Rusia untuk menempuh pendidikan,” ujarnya.
Dua blok ini, kemudian melakukan transfer teknologi kepada para sekutu utamanya, sehingga negara-negara tersebut menjadi negara maju. “Artinya kebijakan geopolitik saat itu berkorelasi dengan transfer pendidikan dan teknologi, serta kemajuan suatu negara,” ungkapnya.
Namun, seiring dengan perubahan geopolitik saat ini, diperlukan satu pola baru dalam transfer teknologi dalam sistem pendidikan, karena sistem pendidikan adalah tulang punggung dari satu negara yang ingin maju.
“Kenapa China bisa maju seperti sekarang, karena berani melawan kebijakan geopolitik itu. China mengalami orientasi geopolitiknya, dia split dari Uni Soviet dia masuk ke Amerika, sehingga mulai ada kebijakan baru. Artinya sekarang bagi kita di Indonesia, kalau ingin menjadi negara maju, maka tahapannya adalah menjadikan sistem pendidikan itu sebagai backbone atau tulang punggung yang menyangga kemajuan kita sebagai bangsa, kalau kita ingin menjadi super power,” tegasnya.
Jadi Prioritas Utama
Sementara itu, Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas yang juga Menristek/Kepala BRIN 2019-2021 Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah harus menjadikan pengembangan sumber daya manusia, khususnya pendidikan menjadi prioritas utama bersama sektor kesehatan.
“Saya saya melihat, kita harus mulai menjadikan pengembangan sumber daya manusia (SDM), khususnya pendidikan itu benar-benar sebagai prioritas bersama kesehatan. Selama ini, kita belum menjadikan itu, kita sering berganti-ganti karena dipengaruhi oleh faktor politik yang sifatnya jangka pendek,” kata Bambang Brodjonegoro.
Padahal, kata Bambang, untuk mengurusin masalah pendidikan ini membutuhkan waktu lebih dari 5-10 tahun, dan perlu ada keberlanjutan. Tidak seperti sekarang, ganti presiden ganti kebijakan dalam sistem pendidikan.
“Urusin pendidikan itu, butuh stamina panjang. Kalau bisa antar satu presiden dengan presiden berikutnya itu, sifatnya saling melanjutkan nggak cukup satu orang presiden atau dua periode untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini,” katanya.
Mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas era Presiden Joko Widodo pada periode pertama ini, berharap pemerintahan yang akan datang tidak lagi membuat kebijakan ganti menteri ganti kurikulum.
Pemerintah harus membuat blueprint (cetak biru) mengenai kebijakan sistem pendidikan Indonesia dalam jangka panjang, yang harus dilanjutkan terus oleh presiden berikutnya.
“Saya menyambut baik ide Partai Gelora yang ingin menjadikan Indonesia Superpower baru, itu bukan hal mustahil, malahan sejalan dengan ide Indonesia Emas 2045. Ketika saya masih di Bappenas, kita sudah memperkirakan Indonesia akan jadi negara maju masuk 5 besar dunia pada 2040. Tetapi karena ada Covid-19, target tersebut mundur 7 tahun, paling cepat 2043,” tegasnya.
Direktur Eksekutif CERDAS Indra Charismiadji menegaskan, saat ini belum ada pemimpin yang fokus dalam membangun manusia Indonesia. Indra berharap pemimpin yang dihasilkan di Pemilu 2024 bisa lebih fokus lagi membangun SDM Indonesia ke depan.
“Kita belum ketemu pemimpin yang fokus membangun manusia. Ini memang problem kita, karena membangun manusia itu tidak seperti membangun jalan tol dan bandara yang bisa cepat kelihatan. Membangun manusia butuh waktu lama, kita sekolah SD-SM saja butuh 12 tahun, itu berarti 3 periode presiden,” kata Indra.
Indra sepakat agar pemerintah memiliki blueprint atau cetak biru sistem pendidikan Indonesia, bentuknya bukan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Dengan cetak biru pendidikan Indonesia ini, jadi siapapun pemimpinnya nanti ada panduan untuk membangun SDM kita. Itu yang kita butuhkan untuk menyelesaikan persoalan pendidikan, bukan nanti ‘ganti baju’ (ganti presiden), ganti lagi,” katanya.
Namun, cetak biru pendidikan Indonesia itu, kata Indra, bukan disusun langsung oleh pemerintah, tetapi disusun bersama oleh lembaga seperti Muhammadiyah, NU, PGRI dan lain-lain yang memang konsen dengan pendidikan.
“Cetak biru ini disusun bukan oleh pemerintah, tapi disusun oleh mereka-mereka yang punya kepentingan langsung dalam pendidikan seperti Muhammadiyah, NU dan PGRI. Mereka sebenarnya sudah berkumpul, menjadi panitia kerja nasional menyusun pendidikan Indonesia, dan presiden pun sepakat, tetapi tidak ada follow-up nya sampai sekarang. Tetapi mudah-mudahan kita nunggu dulu orang-orang Gelora masuk ke DPR agar bisa dibahas lagi,” pungkas Indra berseloroh.
Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, salah satu reformasi besar yang akan dilakukan Partai Gelora apabila diberikan kesempatan untuk memimpin bangsa ini adalah melakukan revolusi total Sistem Pendidikan.
“Sistem pendidikan kita ini, tidak akan pernah melahirkan orang-orang yang bisa berpikir kompleks, karena sedari awal unsur-unsur kepribadian kita sebagai manusia itu tidak terpenuhi dengan baik,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Rabu (7/6/2023).
Misalnya, soal pelajaran sastra, seni dan musik, yang tidak terlalu didalami oleh orang-orang kita. Padahal disitu ada pergolakan mendalam mengenai budaya global di era globalisasi saat ini.
Dimana semua negara seperti Amerika, Korea, India dan China tengah berlomba-lomba untuk memproduksi produk kebudayaan mereka agar bisa mempengaruhi dunia.
“Jadi kalau kita melihat temuan teknologi itu bukan hanya sekedar berpikir kemampuan scientfic orang. Kalau kata Einstein (Albert Einstein) itu imajniasi, yang lebih penting dari science itu sendiri. Itu semua didrive oleh imajinasi, tapi di kita umumnya kurang imajinatif,” ujarnya.
Akibat tidak memiliki imajinatif, menurut ketua umum partai nomor 7 dalam Pemilu 2024 ini, tidak banyak pemimpin politik maupun pejabat publik lainnya di Indonesia sekarang yang punya imajinasi besar.
“Itu karena sistem pendidikannya tidak memungkinkan untuk berminajasi, itu masalahnya. Sehingga anda tidak menemukan orang-orang yang visioner, karena sistem pendidikannya tidak memungkinkan dia berpikir kompleks. Harusnya kita selalu berpikir jauh menerawang dan imajinatif. Tapi kita selalu berpikir hari-hari, dialy dimana yang penting kita hari ini hidup enak,” ungkapnya.
Menurut Anis Matta, sistem pendidikan saat ini perlu dirombak secara total, sehingga memungkinkan semua orang berpikir kompleks dan memiliki imajinasi. “Pemimpin di seluruh dunia itu berhasil, karena imajinasi, mereka memiliki imajinasi,” katanya.
Selain melakukan revolusi sistem pendidikan, Partai Gelora kata Anis Matta, juga akan mendorong penggunaan bahasa Indonesia oleh para pemimpin dan pejabat di forum-forum internasional.
“Kita kadang-kadang justru minder menggunakan bahasa Indonesia. Pemimpin kita di luar negeri maunya berbahasa Inggris, seakan-anda anda berbahasa Inggris, itu anda cukup cerdas dan terdidik,” katanya.
Padahal Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden China Xi Jinping dan mantan Presiden Soeharto tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, tetapi mereka bangga menggunakan bahasanya sendiri, bukan karena tidak bisa berbahasa Inggris.
“Pengguna bahasa Indonesia atau Melayu itu penggunanya mencapai lebih dari 300 juta orang, kenapa kita tidak bangga dengan itu. Harusnya kita mendapatkan hadiah nobel sastra sebagai negara pengguna bahasa Indonesia yang sangat besar. Ini sangat miris,” katanya.
Hal itu, kata Anis Matta, sekali lagi kuncinya adalah di sistem pendidikan, karena orang tidak diajak sejak awal untuk berpikir kompleks, bukan hanya berpikir kritis atau logika satu, tetapi bagaimana membangun kemampuan berpikir keseluruhan secara kompleks.
“Sehingga nanti anda bisa menemukan hal-hal baru dari kemampuan berpikir kompleks itu, yang tidak ada sebelumnya,” jelas Anis Matta.
Pengagum sastrawan Chairil Anwar dan Pujangga Baru ini mengaku kagum dengan karya-karya sastra mereka yang tidak bosan untuk dibaca. Sebab, karya mereka memuat kisah-kisah pergulatan budaya dikelola sedemikian rupa dalam sebuah cerita, sehingga menjadi menarik dan abadi.
“Di kita ini sebenarnya banyak yang kontradiksi, bukan hanya di karya sastra saja, tetapi juga peninggalan budaya seperti Candi Borobudur yang dibangun sebelum abad 9, bahkan sebelum Renaissance bisa memproduksi satu keajaiban dunia. Tapi setelah itu tidak ada peninggalan lagi, kita mengalami distkontinyu tidak hanya di sastra, produk budaya, tetapi diskontinyu di semua lini,” papar Anis Matta.
Dalam industri perfilman misalnya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kemampuan teknis di Industri perfilman, tetapi negara tidak mendukung, dan pemerintah tidak memberikan bantuan untuk membesarkan industri perfilman, semua dikelola oleh swasta.
“Ini juga impian kami di Partai Gelora, kita akan membuat ‘Cinema City. Ini lebih strategis bagi pemerintah untuk membuat project seperti ini, daripada project lain. Di situ ada industri perfilmannya, teknolginya perbankan, universitas, dan ekonomi kreatifnya dan lain-lain semua terkumpul di situ,” katanya.
Model pembangunan seperti ini, lanjutnya, akan mengurangi ongkos atau pembengkakan biaya pembangunan proyek-proyek, karena semua difokuskan di tempat tersebut, sehingga akan mengakselerasi pertumbuhan dan produktivitas tenaga kerja.
“Tapi itu semua kuncinya juga ada di sistem pendidikan. Kami membayangkan bagaimana pendidikan kesenian itu dapat melahirkan produk kebudayaan, dan menjadi salah satu unggulan utama dari Indonesia seperti halnya Korea. Dengan membungkus keunggulan budaya dengan kemuajuan ekonomi dan kekuatan teknologi, diharapkan Indonesia akan menjadi Superpower baru,” pungkasnya.
Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai, partai Islam masih sulit untuk memenangi pertarungan politik di konstensi Pemilu 2024, baik pemilu legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres).
Hal itu disebabkan narasi yang ditawarkan hanya diperuntukkan bagi kelompoknya saja, bukan narasi untuk keseluruhan populasi rakyat Indonesia. Dari dulu sampai sekarang, narasinya tidak pernah berubah, selalu mewakili kelompoknya sendiri.
“Pada dasarnya partai-partai Islam ini selalu berorientasi mewakili kelompoknya sendiri dan tidak mewakili populasi. Partai yang basisnya tradisional, dia berusaha mewakili Islam tradisional, demikian pula dari kelompok modernis dia berusaha mewakili Islam modernis,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (6/6/2023).
Karena itu, kata Anis Matta, porsi dukungan masyarakat terhadap partai Islam tidak sebesar dukungan kepada partai nasionalis.
“Inilah masalah fundamental yang seharusnya menjadi perhatian serius untuk mengubah orientasi narasi mewakili kelompoknya, menjadi narasi mewakili populasi atau seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Menurut Anis Matta, seharusnya konsep ajaran Islam digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti keadilan distribusi ekonomi dan menghadapi ketimpangan ekonomi.
Bukan sebaliknya digunakan untuk membela kelompoknya saja, dan memusuhi kelompok yang lain. Padahal negara dan agama itu tidak bisa pisah-pisahkan dalam sejarahnya.
“Tetapi ada upaya untuk memisahkan agama dan negara dengan dibuat sedemikian rupa sebagai sumber konflik, oleh mereka yang membawa kekuatan agama sebagai ideologinya,” ujar Anis Matta.
Anis Matta menegaskan, Indonesia yang berdasarkan Pancasila, bukan merupakan negara sekuler. Malahan dengan Pancasila, Indonesia justru dikenal sebagai negara religius, karena mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Inilah yang kita sayangkan kenapa partai Islam itu, tidak pernah ada yang mencoba menggali ajaran agama Islam ini sebagai satu sumber inspirasi. Selain itu, partai Islam juga selalu membawa perbedaan friksi mengenai tata cara beragama, antara yang tradisional dan modernis, di bawah ke politik,” katanya.
Anis Matta berharap partai Islam belajar kepada para pendiri bangsa seperti Bung Karno (Soekarno) yang menawarkan Pancasila sebagai fondasi negara, karena menyadari bahwa di Indonesua itu banyak aliran pemikiran, baik itu di kelompok Islam maupun nasionalis.
“Pancasila itu adalah platform yang mewakili semua kelompok. Dia datang dengan narasi mewakili populasi, bukan satu kelompok,” katanya.
Kehadiran Partai Gelora, lanjut Anis Matta, adalah dalam rangka menyelesaikan perbedaan fundamental antara kelompok Islam dan Nasionalis dengan menawarkan narasi yang mewakili populasi, yaitu Arah Baru Indonesia.
“Kita datang dengan membawa Indonesia lebih maju, karena partai-partai Islam tidak pernah menawarkan kepemimpinan bagi semua. Untuk itu, Partai Gelora hadir untuk menjawab ini,” katanya.
Selain itu, partai Islam selama ini hanya dimanfaatkan untuk kendaraan politik para kandidat di Pilpres, padahal mereka sesungguhnya tidak mewakili Islam, hanya menjadikan simbol saja.
“Dari tiga kandidat calon presiden yang di survei-survei itu, pada dasarnya tidak ada satupun dari kelompok Islam, tapi semua orang menggunakan Islam secara simbol saja.
Dengan kondisi tersebut, maka capres yang didukung partai Islam akan sulit memenangi Pilpres, karena tidak bisa melakukan ekspansi pemilih dari kanan ke tengah, apalagi ke kiri.
“Karena itu, ketika Pilpres mereka selalu menjadi komplementer, wakilnya saja, bukan presidennya, karena memang narasi dan pemimpin yang ditawarkan hanya mewakili kolompoknya saja,” pungkasnya.
Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, partai nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini menyampaikan ucapan selamat secara khusus kepada Recep Tayyip Erdogan sebagai Presiden Turki atau Turkiye untuk ketiga kali.
Ucapan tersebut disampaikan secara langsung oleh Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah pada Senin (29/5/2023).
“Alhamdulillah, Erdogan terpilih kembali sebagai Presiden Turkiye untuk Periode 2023-2028. Inilah kemenangan Islam dan kemenangan nasionalisme, serta tentu saja kemenangan seluruh rakyat Turkiye,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Senin (29/5/2023).
Sementara Fahri Hamzah memberikan ucapan selamat kepada Erdogan melalui akun Twitter-nya. Tak hanya itu, Fahri Hamzah juga memasang foto dirinya bersama Erdogan dalam tweetnya.
“Selamat kepada Presiden @RTErdogan atas kemenangan yang hebat,” ujar Fahri.
Fahri pun berharap, pada 2024 mendatang Indonesia juga diberikan sosok pemimpin negara yang kuat seperti Erdogan.
“Doakan kami tahun depan dapat presiden yang mirip-mirip lah. Amin YRA,” tandas Fahri.
Menurut Anis Matta, kemenangan Erdogan merupakan kemenangan yang didoakan dan dipestakan oleh umat Islam di seluruh dunia.
“Kemenangan ini bertepatan dengan momentum peringatan Pembebasan Konstantinopel 29 Mei 1453,” katanya.
Pilpres Turkiye 2023 ini, kata Anis Matta, sangat monumental di tengah perang Ukraina dan konflik supremasi geopolitik di hampir semua kawasan di dunia.
“Inilah pilpres yang diintervensi secara terbuka dan tertutup oleh hampir semua kekuatan adidaya. Ini salah satu ‘medan tempur’ paling brutal diantara mereka,” tegas Anis Matta.
Anis Matta yang dikenal sebagai pakar geopolitik global ini mengatakan, ada banyak rencana pesta di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang dibatalkan setelah kemenangan Erdogan dalam pertempuran terakhirnya.
“Jika diberi umur, Erdogan akan memimpin hingga 2028 mendatang, dan menyempurnakan karyanya selama seperempat abad (2003-2028),” ujarnya.
Erdogan, menurut Anis Matta, telah menyatukan Islam dan nasionalisme di tataran ideologi. Erdogan dalam realitasnya mampu mengubah wajah Turkiye secara fundamental.
Bahkan Erdogan berhasil mengembalikan posisi Turkiye sebagai salah satu kekuatan global dengan fitur teknologi, militer, ekonomi, dan budaya yang solid.
“Erdogan datang membawa arah baru bagi Turkiye dan peta jalan yang jelas ke sana. Beliau bekerja dengan tekad dan determinasi yang kuat. Semoga Allah menyempurnakan amalnya dan menutupnya kelak dengan husnul khotimah,” katanya.
Selain Turkiye, lanjut Anis Matta, ada 4 lagi negara muslim yang bisa menjadi kekuatan global karena sejarah dan kombinasi potensi berbagai sumber dayanya, yaitu Indonesia, Mesir, Arab Saudi, dan Aljazair.
“Peta jalan masing-masing negara itu mungkin berbeda, tapi mereka bisa menjadi pemimpin kawasan dan global di tengah transisi yang sangat kompleks menuju tatanan dunia baru yang multipolar Indonesia sedang OTW ke sana … Arah Baru Indonesia,” pungkas Anis Matta.
Seperti diketahui, Recep Tayyip Erdogan terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2023 putaran kedua. Angka kemenangannya cukup tipis, yakni 52,3 persen ketimbang rivalnya, Kemal Kilicdaroglu dengan perolehan suara 47,7 persen.
Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah menegaskan, pesta demokrasi itu permainan yang mahal, karena mengakomodasi keterlibatan publik secara lebih luas secara atau masif.
Jadi politik itu, tidak bisa diletakan hanya sebagai permainan segelintir elit saja, tapi politik adalah permainan semua orang.
“Dibutuhkan dana jumbo untuk membiayai seseorang dalam kontestasi politik. Untuk biaya seseorang mendapat kursi di DPR RI saja, butuh dana keseluruhan sebesar Rp11,6 Triliun,” ungkap Fahri Hamzah dalam keterangannya, Minggu (28/5/2023).
Hal itu disampaikan Fahri Hamzah dalam program acara Your Money Your Vote bertajuk ‘Uang Haram di Pusaran Pemilu 2024’, Sabtu (27/5/2023).
Kata dia, ongkos minimal seorang calon Legislatif (Caleg) agar bisa duduk di Senayan mencapai miliaran rupiah, dimana kisarannya mulai dari Rp5 Miliar sampai Rp15 Miliar untuk DPR RI.
Menurut Fahri, biaya yang dikeluarkan sebesar itu sudah lazim dalam alam demokrasi saat ini, karena dana tersebut digunakan untuk membiayai logistik seperti pemberian bantuan dan sebagainya.
“Makanya, tak heran banyak orang kaya yang selalu terpilih menjadi anggota DPR RI, setiap pemilu. Lantaran mereka punya kekuatan finansial. Tentu ada orang-orang kaya yang merem saja dia (menang). Nggak perlu ke dapilnya, dia cuma kirim truk logistik, dia kirim uang, dia kirim segala macam. Dan orang ini di DPR RI nggak pernah berbicara, nggak pernah menyatakan pendapat, tapi setiap tanggal 20 Oktober per lima tahunan dia dilantik. Kenapa? Karena uangnya banyak betul orang ini,” ungkap Fahri.
Begitu pula ongkos untuk menjadi seorang calon presiden (capres), jumlahnya lebih gila-gilaan lagi, karena sudah mencapai triliunan. Dia memperkirakan kalau di Indonesia, orang tidak punya uang Rp5 Triliun, tak bisa nyapres.
Sebagai contoh, Fahri mengungkapkan ongkos yang diperlukan dalam pemilihan gubernur (Pilgub) mencapai puluhan hingga ratusan miliar, tergantung besar kecil provinsi. Makanya, tak heran, untuk pemilihan presiden (Pilpres), minimal seorang capres butuh uang minimal sebesar Rp5 triliun.
Dari mana uang sebanyak itu? Kata Fahri, kalau seorang capres uangnya bukan uang pribadi, melainkan dikumpulkan dari berbagai donatur.
Meski dibelakang nanti akan ada hubungan dengan power (kekuasaan) dan policy (kebijakan) yang akan dibuat oleh negara dan pemerintah.
Dengan model demokrasi begini, Fahri menyebut, pertarungan dalam memilih pemimpin itu bukan soal adu gagasan, tapi adu logistik.
Karena itu, lanjut dia, harus dipikirkan secara serius bagaimana caranya membiayai yang mahal di dalam demokrasi ini, supaya biaya mahal itu justru tidak menjadi sumber korupsi.
Menurut dia, regulasinya yang masih tanggung harus disempurnakan, juga regulasi-regulasi lain yang berkaitan dengan pembiayaannya sendiri.
Sebetulnya ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd.
Pembiayaan yang dibiayai 100% oleh negara, Fahri menyebut seperti yang tengah dirancang Parlemen Malaysia yang tengah memulai pembahasan tentang pembiayaan 100% oleh negara, karena mereka mulai khawatir keterlibatan dari tim dirty money dan ilegal money ke dalam pemilihan di pemilu dan partai politik.
Masih menurut Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini, adalah yang ekstrem lagi dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Tetapi tentunya harus ada regulasi yang ketat agar dana yang dikumpulkan untuk kegiatan pemilu, tidak boleh jatuh kepada pembiayaan pribadi.
“Sedang pembiayaan Dengan sistem hibryd, sepertinya kita ingin memakai ini, tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam pemilu di kita itu masih terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan pemilu berbasis kepada uang pribadi. Sehingga dalam pemilu kita itu sebenarnya fighting between kandidat itu atau pertarungan antar kandidat, lebih merupakan pertarungan pribadi yang lama-lama kemudian orang menyadari bahwa karena kita gagal agregasi politik gagasan di dalam pemilu, akhirnya orang lari kepada politik uang politik logistik gitu,” papar Fahri Hamzah yang mencalonkan dirinya sebagai caleg Partai Gelora untuk Dapil NTB I ini.
Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah, partai yang mendapat nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini, ikut buka suara terkait polemik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun.
Putusan MK ini, mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, terkait masa jabatan Pimpinan KPK.
Akibatnya, maka jabatan Pimpinan KPK Firli Bahuri dkk yang harusnya habis tahun 2023 ini akan diperpanjang selama 1 tahun hingga 2024 mendatang.
Menurut Fahri Hamzah, secara umum putusan MK tersebut sangat terkait dengan perubahan Undang-Undang (UU) KPK yang menegaskan bahwa KPK dalam pelaksanaan tugasnya berada di ranah eksekutif.
Hal itu diatur didalam ketentuan Pasal 3 pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
“Jadi memang diperlukan agar koordinasi kerja kelembagaan dapat disesuaikan dengan tahapan tahapan yang ada pada cabang kekuasaan eksekutif negara yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang juga memiliki masa jabatan lima tahun,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Jumat (26/5/2023).
Setelah Presiden dilantik, kata Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, Presiden akan mendapatkan tugas untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang diatur melalui operasionalnya melalui rancangan anggaran RAPBN.
“Sehingga lembaga dalam cabang kekuasaan eksekutif perlu menyesuailan diri agar sinergi dan orkestrasi penyelenggaraan negara termasuk pemberantasan korupsi di dalamnya berada dalam satu irama yang terencana,” ujar Fahri, yang menjadi calon legislatif Partai Gelora daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) I ini.
Seperti diketahui, MK mengabulkan gugatan terkait masa jabatan Pimpinan KPK. Kini, masa jabatan Pimpinan KPK untuk satu periode menjadi 5 tahun. Sidang pengucapan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (25/5/2023).
“Yang semula berbunyi ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’, bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusannya.
Dalam putusannya, MK menilai terdapat ketidakadilan mengenai masa jabatan 4 tahun Pimpinan KPK. MK merujuk ada sekitar 11 lembaga negara maupun komisi independen yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 tahun.
Yakni KPPU, Ombudsman, Komnas HAM, KY, LPS, LPSK, OJK, KASN, KPAI, KPU, serta Bawaslu.
Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance.
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Syarif Hiariej mengatakan, Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan Keputusan Presiden (keppres) baru terkait masa jabatan Firli Bahuri dkk.
Keppres itu akan mengganti keppres yang telah dikeluarkan saat pengangkatan Firli Bahuri dkk menjadi Pimpinan KPK pada 2019.
Presiden akan mengubah Keppres terkait masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir 20 Desember 2023 diperpanjang satu tahun ke depan menjadi 20 Desember 2024.
Partaigelora.id – Pengamat politik internasional Tengku Zulkifli Usman mengatakan, ada pelajaran berharga yang bisa diambil Indonesia dari Pemilu Turki 2023, yang kini berubah nama menjadi Turkiye. Yakni mengutamakan politik adu gagasan, adu ide dan adu narasi yang mewarnai secara dominan di ruang publik di Turki.
Sementara politik uang (money politics), bagi-bagi sembako seperti beras dan minyak goreng tidak dipilih oleh masyarakat Turki.
“Partai AK Parti, partainya Erdogan (Recep Tayyip Erdoğan) ini berhasil mendidik masyarakat Turki. Ada transfer narasi dan prestasi yang bagus dari Erdogan. Sehingga meski dikasih sembako dan lain-lain oleh lawannya, mereka tetap nggak milih,” kata Tengku Zulkifli dalam Gelora Talk ‘Menyongsong Pilpres 2024: Pelajaran dari Pemilu Turki, Rabu (24/5/2023).
Menurut dia, Kemal Kılıçdaroğlu, yang didukung CHP (Partai Rakyat Republik) dan mendapatkan bantuan dana 300 miliyar Lira dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, ternyata kalah sama dari Erdogan yang tidak memiliki dana yang besar, karena secara natural memiliki basis massa tradisional dan memiliki manajemen kampanye yang bagus.
“Meski CHP sudah bagi-bagi sembako seperti minyak goreng dan beras, serta berhasil mengerahkan massa dalam jumlah besar. Masyarakat Turki nggak peduli, mereka nggak pilih, karena pakai cara-cara yang tidak mendidik. Tapi lawan Erdogan bisa masuk putaran kedua, itu sudah luar biasa. Saya yakin Erdogan tetap akan menang,” katanya.
Tengku Zulkifli mengaku selalu berkomunikasi dengan para pengamat politik di Turki, bahwa berpolitik dengan bagi-bagi sembako atau politik uang tidak dipilih masyarakat Turki.
Ia berharap agar partai di Indonesia bisa mencontoh AK Partai (Partai Partai Keadilan dan Pembangunan), yang dianggap sebagai partai modern.
“Karena itu, Indonesia ini sudah saatnya move on dari cara-cara berpolitik yang lama, itu sudah usang. Kita sudah reformasi 25 tahun, sudah cukup membiarkan budaya buruk seperti ini dalam politik kita,” katanya.
Masyarakat, lanjutnya, seolah-olah tidak pernah diajak berpikir, bahkan dianggap tidak bisa berpikir, cukup diberi minyak goreng dan beras saja dalam setiap pemilu, mereka akan pilih.
“Padahal politik itu, sejatinya adalah transfer narasi ke generasi. Coba lihat para ketua umum itu tidak ada yang mau turun, mereka maunya jadi pejabat terus. Padahal sudah tua, encokan, rematik dan tidak ada waktu belajar,” katanya.
Sebagai pendidikan politik, harusnya mereka turun dan ada transfer narasi dari generasi ke generasi. “Ini bukan persoalan kursi, tapi sebenarnya yang senior itu harusnya legowo transfer narasi ke generasi muda. Tetapi, ini tidak terjadi,” kata Wakil Ketua Bidang Narasi DPN Partai Gelora ini.
Tengku Zulkifli menegaskan, apa yang dilakukan Erdogan patut dicontoh para pemimpin dan ketua umum partai di Indonesia, karena mengedepankan kecerdasan berpolitik adu gagasan, adu ide dan adu narasi.
“Bukan sebaliknya, mengedepankan ‘politik barbar’. Apapun masalahnya, apapun polemiknya di masyarakat, ayo diselesaikan di kotak suara. Itu ajakan yang disampaikan Erdogan, makanya dia tidak pernah ngotot dengan satu jabatan apapun, kecuali itu semua kehendak rakyat,” ujarnya.
Karena itu, ia mengatakan, tiga upaya kudeta terhadap Erdogan selalu gagal, meski mendapatkan dukungan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang tidak menginginkan Erdogan berkuasa lagi.
“Erdogan memiliki leadership yang kuat membawa perubahan, view baru di Turki. Meski banyak permainan geopolitik global tetap tidak pernah berhasil, karena kecerdasan politik adu gagasan, adu ide dan tidak barbar telah memenangkan hati masyarakat turki,” tegasnya.
Kekuatan Narasi, bukan Kekuatan Otot
Sementara itu, pengajar Fisip Universitas Indonesia Syahrul Hidayat, Doktor lulusan University Of Exeter, United Kingdom mengatakan, sudah saatnya para pemimpin di Indonesia mulai mengedepankan narasi dan dialog dalam merebut hati rakyat.
“Pemimpin harus menawarkan solusi dari persoalan yang ada di masyarakat. Dimana kekuatan narasi harus mulai ditekankan daripada kekuatan otot,” harap Syahrul.
Erdogan ini, kata Syahrul, tidak pernah menjanjikan sesuatu, sehingga ketika terjadi inflasi dan pasca gempa bumi besar, masyarakat Turki tetap percaya kepada Erdogan untuk memperbaiki keadaan.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Turki 2019 – 2020 Darlis Aziz mengungkapkan, kampanye Pemilu di Turki benar-benar menerapkan strategi narasi dan dialog dengan masyarakat.
“Kalau di kita banyak sekali spanduk yang bertebaran merusak pemandangan ruang publik, kalau di Turki itu tidak ada,” ujar Darlis Aziz.
Kampanye di Turki, lanjutnya diisi dengan partemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Mereka menawarkan narasi terbaru kepada anak muda, sehingga menjadi tertarik.
“Dengan narasi itu memberikan optimis dulu kepada masyarakat Turki akan dimasukkan di rencana pembangunan. Nah, saya kira ini sangat mendidik, perlu diterapkan di kita, karena kampanye kita sangat boros dan merusak lingkungan,” tegasnya.
Kematangan Berdemokrasi Turki
Sedangkan Sitaresmi Soekanto Matta, Pendiri Partai Gelora Indonesia menegaskan, bahwa Pemilu Turki 2023 merupakan bentuk kematangan dalam berdemokrasi di Turki, baik rakyat maupun sistemnya.
“Saya melihat ada kematangan demokrasi di Turki. Ada kematangan rakyatnya yang melihat secara obyektif, bahwa partai-partai posisi tidak mereka inginkan untuk mematikan demokrasi yang ada. Kemenangan Erdogan bagian dari penyelamatan Turki,” kata Sitaresmi.
Ia berpandangan, kematangan rakyatnya menjadi kunci dalam keberhasilan berdemokrasi di Turki. Sebab, Erdogan selalu mengedepankan dialog dengan masyarakatnya, dan mengatakan tidak bisa berjuang dengan melakukan hal-hal frontal seperti kudeta untuk melakukan perubahan.
“Kehadiran AK Parti pimpinan Erdogan ini berhasil memodernisasi Turki, meski kontitusinya tetap sekuler, tetapi masyarakat sangat religius sekarang. Itu sebenarnya sudah terlihat ketika Erdogan menjadi Wali Kota Istambul,” katanya.
Pendiri partai nomor 7 di Pemilu 2024 ini berharap kerja partai politik (parpol) dan tokoh politik harus berbasis prestasi bukan gimmick dan pencitraan. Erdogan mencontohkan hal ini secara konsisten.
“Tugas partai politik adalah public educator dan public narrator, bukan pembawa sembako. Tata kelola partai politik yang bagus akan menghasilkan output yang bagus,” katanya.
Ia juga menilai AK Partai Turki contoh partai modern yang mampu menampilkan demokrasi yang sehat dan Islam yang damai di waktu yang sama.
“Perpecahan dan pembelahan politik selalu merugikan kita sendiri. Hal ini perlu selalu dihindari oleh semua pihak,” katanya.
Sitaresmi mengatakan, tokoh politik sudah saatnya melakukan transfer narasi ke generasi selanjutnya dan tidak mempertahankan iklim gerontokrasi dalam berpartai.
“Pemilu yang baik adalah pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat. Pemilu Turki salah satu pemilu yang paling memiliki keabsahan tinggi di dunia 2023,” katanya.
Partai Gelora menilai pergolakan idelogi dan perbedaan pendapat dalam politik jangan diarahkan ke arah negatif. Tapi seharusnya menjadi khazanah kekayaan bangsa dan menjadi konsensus bersama dalam membangun.
“Tidak ada yang sempurna, oleh sebab itu semua stakeholder partai politik, politisi dan seterusnya harus mau berproses menuju demokrasi yang sehat dan mau berproses dalam melakukan menajemen demokrasi yang lebih substansial lagi,” pungkas Sitaresmi Soekanto Matta.