Menyongsong 100 Tahun Kejayaan Bangsa: Suatu Harapan

Tahun ini, negara kita memasuki usia kemerdekaannya yang ke-75 pada tanggal 17 Agustus 2020. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara kita, karena masih dapat mempertahankan kedaulatannya selama hampir ¾ abad. Momen ini juga menjadi tantangan bagi negara kita dalam menapaki arah serta nasibnya kedepan. Indonesia di masa mendatang hendaknya menjadi suatu negara yang dapat menghargai perbedaan, saling menaruh simpati antar sesama saudara sebangsa setanah air, dan juga dapat terbuka dalam kehidupan bermasyarakatnya, namun, hal ini masih menjadi PR bagi perjalanan bangsa kita kedepannya.

Selama 75 tahun berdirinya Indonesia, kerap kali kita diterpa ancaman internal terhadap keutuhan serta kedaulatan negara kita. Mengutip perkataan bapak bangsa kita, Soekarno, beliau mengatakan bahwa perjuangan kita akan lebih sulit ketimbang dirinya, karena akan melawan bangsa kita sendiri, tidak seperti pada masa beliau yang berjuang melawan para penjajah. Bersandar pada realita yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini, nampaknya Soekarno telah menyadari bahwa sedari awal ancaman internal yang akan dihadapi bangsa dan negaranya kelak yakni kemajemukan yang dapat berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.

Maraknya upaya pemecah-belahan bangsa karena masyarakat kita masih terpaku akan rasa etnosentrisme dan primordialisme yang sangat kuat antar kelompok sosial. Dua hal tersebut seakan menjadi luka terhadap upaya persatuan yang hendak diraih dan juga dipertahankan oleh para pendahulu kita. Dalam dinamika kehidupan di masyarakat, anggota suatu kelompok sosial mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang dimiliki kelompoknya merupakan sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh kelompok lain, hal ini dapat dikategorikan etnosentrisme (Soekanto dan Sulistyowati, 2015: 106-107). Etnosentrisme yang kuat juga disertai dengan stereotip, yakni anggapan yang bersifat negatif terhadap suatu objek atau hal tertentu. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut dapat menciptakan suatu konflik horizontal.

Fenomena masyarakat Indonesia masih melekat dengan konsep “dominasi”, dengan berbagai macam istilah yang melekat didalamnya, seperti “mayoritas-minoritas” ataupun juga “penduduk asli-pendatang”. Contoh yang paling dekat yakni pada kasus penutupan serta persekusi terhadap pendirian Gereja (BBC, 2019). Tidak menutup sebelah mata, rentetan aksi persekusi dan penolakan atas berdirinya tempat ibadah di negara kita tidak hanya terjadi bagi umat Kristiani saja, namun juga terhadap agama dan juga golongan lainnya. Selagi masih adanya aturan dominasi kelompok mayoritas yang mengikat–baik dalam pemaksaan nilai, norma, serta agama–terhadap kelompok minoritas, maka hal ini menyebabkan siklus tiada henti dalam wujud intoleransi. Ada pula contoh kasus lainnya yaitu mengenai polemik terkait dugaan adanya simbol “salib” yang terdapat pada tema logo HUT RI ke-75 (CNNIndonesia, 2020). Tidak sedikit pihak yang berpikiran negatif terhadap konsep logo HUT RI ke-75 yang dianggap sebagai wujud “kristenisasi” dan lain sebagainya. Hal-hal tersebutlah yang menciptakan suatu sumbu pendek dan mudah sekali dibakar oleh beberapa pihak untuk dapat memecah-belah persatuan tanpa berpikir kritis terlebih dahulu. Senada dengan penjelasan sebelumnya bahwa fenomena ini erat dengan iklim sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sarat akan etnosentrisme dan juga primordialisme.

Saya mempunyai impian bahwa kelak saya dapat hidup di negeri ini tanpa dilanda rasa ketakutan dan prasangka buruk terhadap teman terdekat saya. Saya membayangkan bahwa kelak saya dapat duduk bersama dengan semua saudara setanah air tanpa memikirkan identitas yang berbeda-beda, hanya ada satu identitas, yakni “Indonesia”, tanpa memandang latar belakangnya, baik itu Jawa, Sunda, Batak, Asmat, Cina Peranakan, Kulit Hitam/Putih, Islam, Kristen, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan apapun.

Sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1, pasal 28I ayat 1-5, dan juga pasal 29 diterangkan bahwa kita mendapatkan jaminan untuk dapat beragama dan meyakini sesuatu tanpa mendapatkan persekusi dan juga perlakuan diskriminatif, sebab, pada dasarnya hal tersebut merupakan hak dasar manusia Indonesia yang harusnya juga dapat “dijamin” oleh negara.

Terakhir, menyambung perkataan Bapak Presiden Indonesia, yakni Joko Widodo, dalam Pidato Kenegaraan-Nya pada Sidang Tahunan MPR sekaligus Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, beliau tak lupa berpesan untuk menjaga persatuan bangsa di kala pandemi ini. Jangan pernah merasa dirinya paling benar sendiri, paling beragama, dan paling Pancasilais. Karena semua keragaman dan kemajemukan yang sudah menjadi takdir bangsa kita, hendaknya menjadi suatu pemberdayaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Di usianya yang sudah sejauh ini, Indonesia akan menyongsong suatu masa, dimana kita akan genap berusia satu abad. Untuk mencapai titik tersebut, apa yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa selanjutnya? Jawabannya adalah kita harus tetap memperkuat konsolidasi nasional bangsa, menjaga toleransi tinggi yang telah menjadi nilai luhur bangsa. Jauh sebelum negara ini terbentuk, leluhur dan nenek moyang kita telah melandaskan suatu kearifan lokal dalam wujud akulturasi, toleransi, serta amalgamasi. Jangan sampai hal tersebut dirusak oleh segelintir pihak untuk mencapai kepentingan yang bersifat pragmatis.

Kemerdekaan ialah milik semua rakyat Indonesia, dahulu, kini, sampai seterusnya, selama hayat dikandung badan. Dirgahayu Indonesiaku.

Oleh Yonathan Anugerah El Pohan – Pemenang Lomba Karya Tulis/ Blog Gelora Kemerdekaan Indonesia 2020 Periode 1

No comments
Leave Your Comment

No comments

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X