Tag: #DPR

Partai Gelora: Eksistensi dan Fungsi MPR Saat Ini Tidak Berjalan Dengan Baik

, , , , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai eksistensi dan fungsi lembaga Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) RI saat ini tidak berjalan dengan baik.

Akibatnya, Pimpinan MPR yang berjumlah 10 orang saat ini mencari kesibukannya masing-masing, karena memang tidak ada kesibukannya yang bisa ditegakkan.

“Semua parpol menjadi pimpinan MPR, dan sekarang MPR terpaksa mencari kesibukannya, pimpinan MPR  mencari kesibukannya masing-masing,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam Gelora Talks bertajuk ‘Menyoal Eksistensi Lembaga MPR: Masih Relevankah Dipertahankan?’, Rabu (19/1/2022) petang.

Dalam diskusi yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Gelora TV, Facebook Partai Gelora Indonesia dan Transvision Satellite Channel SERU: 333 ini,  menghadirkan narasumber Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, pengamat hukum tata negara Feri Amsari dan pengamat politik Chusnul Mar’iyah.

Menurut Fahri, fungsi-fungsi MPR yang tidak berjalan dengan baik saat ini harus dikembalikan. Karena MPR telah dijadikan sebagai lembaga tinggi negara melalui amendemen UUD 1945 dengan sistem joint session atau dua kamar (kamar), maka MPR tidak perlu lagi sebagai lembaga permanen.

“Peran-peran yang selama ini dibebankan kepada DPR dan DPD harusnya ditarik oleh MPR,” katanya.

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, berpandangan belakangan ini ada kecenderungan lahirnya kembali sistem kepartaian yang menganggap bahwa lembaga negara tidak berjarak dengan kekuasaan parpol.

Parpol dianggap sebagai lembaga perwakilan itu sendiri seperti dalam tradisi otoritarianisme. Fahri mengatakan,  saat ini susah membedakan apa beda majelis dengan dewan di parlemen.

“Di negara-negara otoriter ya kongres partai dengan kongres negara atau lembaga perwakilan ya dianggap sama, tapi dalam negara demokrasi parpol hanyalah event organizer bagi pembentukan lembaga perwakilan, dan partai politik dijaga jaraknya dari lembaga perwakilan dengan dihilangkannya hak recall dan lain-lain sebagainya sehingga anggota kongres kita itu menjadi sangat independen seperti Amerika Serikat (AS), Prancis dan sebagainya,” jelasnya.

Karena itu, kata Fahri, seluruh elemen bangsa harus memikirkan kembali mau dibawa kemana kelembagaan MPR ke depan. Apakah mau mengkonsolidasikan tradisi otoritarianisme, atau meneruskan tradisi demokrasi yang telah mulai dalam amandemen konstitusi sejak reformasi 1998.

“Kalau kita mengarah ke sana maka kita harus memikirkan MPR. Sekarang MPR terpaksa mencari kesibukannya, pimpinan MPR  mencari kesibukannya masing-masing. Yang agak sibuk pimpinan MPR hanya mas Bambang (Soesatyo) saya lihat itu urus motor itu yang paling banyak, jadi sebenarnya nggak ada itu kesibukan yang ditegakkan,” tegasnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menegaskan kembali posisi lembaga tersebut saat ini. Menurutnya, MPR kini masih tetap kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, meski beberapa kewenangannya dihilangkan

“Jadi meskipun wewenang untuk memilih, mengangkat dan menetapkan presiden sudah tidak lagi menjadi wewenang MPR, kemudian tidak punya lagi wewenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, menurut fungsinya MPR tetaplah merupakan lembaga tertinggi negara,” kata Basarah.

Jika peran atau wewenang MPR dihapus, lanjut Basarah, justru akan membuat bingung. Ia mengemukakan, akan timbul pertanyaan siapa yang akan melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum.

“Saya kira jelas sudah wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan kita. Kalau wewenang ini dihapuskan atau dijadikan lembaga tak permanen maka tidak ada yang melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilu,” ungkapnya.

“Artinya tidak ada lembaga yang bisa memberhentikan presiden dan wapres di tengah masa jabatan,” sambung politisi PDIP ini.

Selain itu, Basarah juga menilai MPR RI tidak bisa disamakan dengan sistem antara senat dengan DPR di Amerika Serikat. Menurutnya, sistem yang dipakai tidak sama.

Basarah menilai penggabungan antara Senat dan DPR di Konggres AS, berbeda dengan MPR karena di dalam konstitusi  MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.

“Yang berarti terdapat perpindahan anggota DPR dan DPD ke satu lembaga bernama MPR. Itu lah perbedaan mendasar antara kongres Amerika Serikat dan MPR,” kilahnya.

Namun, pengamat hukum tata negara Feri Amsari menilai, ‘jenis kelamin’ MPR saat ini tidak jelas. Berdasarkan tafsir ketatanegaraan dengan pendekatan original teks pembentuk UUD ketika membuat konstitusi saat ini, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.

“Jadi MPR itu tempat berkumpulnya anggota DPR dan DPD untuk berkumpulnya dua lembaga legislatif dalam sistem presidensial yaitu lembaga DPR dan DPD. Mereka bertemu,  dengan demikian sebenarnya lembaga MPR itu bukanlah lembaga tetap, akan timbul ketika berkumpulnya anggota DPR dan DPD,” kata Feri.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang ini mengatakan, kedudukan MPR dalam sistem pemerintahan sekarang, saling berkaitan dengan lembaga yang lain.

“Kita sadar itu ketika melakukan perubahan mendasar mau membentuk sistem pemerintahan presidensial yang murni dan konsekuen. Kedudukan MPR sekarang ya seperti ini,” katanya.

Namun, dalam pelaksanaannya ada ketidaksinkronan dalam sistem ketatanegaraan saat ini, MPR lebih banyak politisnya dalam implementasinya. Akibat tidak banyak orang yang bisa menjelaskan struktur bangunan kelembagaan MPR dan kedudukannya dalam sistem ketanegaraan saat ini.

“MPR sifatnya sangat politis sekarang. Ada ketidaksinkronan sietem ketatanegaraan, bentuknya seperti apa dan jenis kelaminnya tidak jelas, serta diberikan kewenangan yang memperburuk ketatanegaraan. Saya merasa memang tidak banyak yang bisa menjelaskan konstruksi bangunan kelembagaan MPR,” katanya.

Sebaliknya, pengamat politik dari Universitas Indonesia Chusnul Mariyah justru mendukung pendapat Ahmad Basarah, dan tidak sepakat dengan Fahri Hamzah dan Feri Amsari.

Chusnul mengatakan, berdasarkan konsep kelembagaan dalam perspektif sejarah, MPR itu adalah penjelmaan rakyat, sehingga penanamaannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Kita selalu mengajarkan kepada anak-anak di bangku sekolah. kalau Indonesia dijajah 350 tahun, kata siapa, emang Indonesia? Itu kerajan dan kesultanan yang dijajah, Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945. Indonesia berasal dari kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam dari Aceh-Papua, dimana Papua saat itu bagian wilayah Tidore,” kata Chusnul.

Artinya, kedudukan MPR sebagai penjelmaan rakyat harus dipertahankan. Sebab, mempertahankan MPR bagian dari mempertahankan NKRI.

“Yang seharusnya dibubarkan itu bukan MPR, tetapi DPD, karena dalam perpektif sejarahnya tidak ada, harusnya ada Utusan Golongan dan Daerah seperti dahulu, sebab yang membangun NKRI  sebagai pemilih sah republik ini adalahh kerajaan-kerajaan dan kesultanan Islam, itu ada perjanjiannya,” jelas Chusnul.

Chusnul berharap kedudukan MPR dikembalikan seperti dilakukan perubahan UUD 1945, karena memiliki paradigma musyawarah, bukan seperti sekarang seakan-akan partai politik yang paling tahu, padahal tidak pernah membaca historical background pembentukan NKRI.

“MPR itu the guardian of constitution yang berkedaulatan ada di sini, dia mempertahankan eksistensi negara. Kalau sekarang ada keinginan dari ingin kembali UUD Dasar 45, kenapa tidak melakukan apa yang dilakukan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959 untuk kembali ke UUD 1945, mengembalikan lembaga penjelmaan rakyat,” pungkasnya.

Percepat Sahkan UU Cipta Kerja, Fahri: DPR Sudah Masuk Perangkap ‘Lingkaran Setan’

, , , , , , , ,

JAKARTA – Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah saat ini menilai DPR dan partai politik (parpol) tengah mengalami krisis besar, krisis kepercayaan yang sangat luar biasa pasca pengesahan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja beberapa waktu lalu, sehingga menimbulkan aksi penolakan serentak dan menimbulkan kericuhan dimana-mana.

“Kita tidak tahu Anggota DPR ini bekerja untuk rakyat atau kepentingan lain. Ini adalah krisis besar partai politik, krisis besar dalam lembaga perwakilan. Kita tidak mengetahui madzab atau falsafah dibelakang Omnibus Law ini, tiba-tiba menjadi rencana dalam program legislasi nasional, dan tiba-tiba kita tahu sudah disahkan jadi undang-undang,” kata Fahri Hamzah dalam keterangan tertulis, Minggu (11/10/2020).

Menurut Fahri, kasus Omnibus Law yang sekarang ramai dibicarakan sebagai puncak dari sistem perwakilan, apakah lembaga perwakilan tersebut wujud kedaulatan rakyat, atau sebaliknya perwakilan kepentingan parpol atau kepentingan lain.

“Di buku saya terakhir, buku putih yang membahas dilema ‘Daulat Partai Politik dan versus Daulat Rakyat, sudah saya tulis secara terang karena saya mengalami sendiri soal krisis partai politik dan krisis lembaga perwakilan itu, ” ungkap Fahri.

Karena itu, Fahri mengaku tidak mau terjebak dalam menyikapi pro kontra soal UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, baik yang menolak maupun mendukung UU tersebut, semuanya dikendalikan oleh ketua umum parpol yang melakukan ‘deal-deal politik’ dan mengambil untung dari peristiwa ini.

“Makanya saya tidak mau terjebak dengan kemarahan. Baik yang mengklaim dirinya bersama rakyat maupun tidak bersama rakyat, itu semua orang-orangnya dikendalikan oleh partai politik, tidak dikendalikan oleh aspirasi rakyat. Partai politik yang sedang mengambil untung dari peristiwa ini,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia ini.

Jadi apabila parpol yang tiba-tiba ada di pihak rakyat atau yang tadinya mendukung dan diujungnya menolak, menurut Fahri, semua juga dikendalikan parpolnya masing-masing, bukan murni aspirasi rakyat, karena mempertimbangkan ‘untung-rugi’ dari sebuah peristiwa politik.  

“Independensi Anggota DPR atau kedaulatan rakyat, sudah tidak ada lagi digantikan wakil parpol. Ketum, waketum, sekjen, bedum sangat powerfull sekali,  tinggal  telepon kalau ada transaksi. Sehingga konstituensi menjadi tidak penting lagi ketika sudah dikendalikan oleh partai politik. Ini seperti lingkaran setan,” katanya.

Mata rantai Lingkaran setan ini, lanjut Fahri, harus diputus dan dihentikan, karena parpol telah mengangkangi pejabat publik, mengendalikan Anggota DPR dan juga Presiden. Ia menilai parpol telah melakukan kegiatan subversif terhadap kedaulatan rakyat.

“Kendali parpol bukan hanya di legislatif, tapi juga di eksekutif. Walikota,  bupati, gubernur, bahkan juga presiden ditekan. Ini semua harus dihentikan, tidak ada lagi yang harus menjadi petugas partai. Partai politik harus menjadi thinktank atau pemikir, memberikan kontribusi pada pikiran bangsa, bukan mengendalikan wayang-wayang politik yang dipilih oleh rakyat,” tandasnya.

Fahri menilai kasus Omnibus Law Cipta Kerja ini bisa menjadi yurisprudensi bagi rakyat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan guna memutus mata rantai lingkaran setan kekuatan parpol di legislatif dan eksekutif.

“Lingkaran setan ini harus diputus dan dihentikan, semua yang menjadi petugas partai harus dihentikan. Yurisprudensinya kita ciptakan melalui gugatan ke pengadilan, kewenangan parpol sudah terlalu besar. Saya sedih melihat DPR dan pemerintah terlalu cepat membohongi rakyat, sehingga Omnibus Law ditolak rakyat dimana-mana,” pungkas Fahri. 

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X