Tag: Haris Abu Ulya

Anis Matta Reminds All Parties Not to Let Foreign Powers Turn Indonesia Into a New Battlefield

, , , , ,

Partaigelora.id – The chairman of the Gelora Party, Anis Matta, reminded all parties not to allow foreign powers to turn Indonesia into a new battlefield as a result of global and regional geopolitical conflicts in Afghanistan.

Anis Matta delivered his warning in last week’s Gelora Talks entitled ‘Taliban Challenges; Can they Form an Effective Government?’ in Jakarta, Wednesday (1/9/2021).

In the discussion which was attended by former head of BAIS TNI Vice Admiral (Ret) Soleman B Ponto, State Intelligence Agency (BIN) spokesperson Wawan H Purwanto, and terrorism observer Haris Abu Ulya, Anis Matta cautioned that there would be too many variables beyond Indonesia’s control arising from this conflict.

“This is one of our important national interests, that we would not be turned into collateral damage. The conflicts are between other people but we are the one who die. That is what we need to avoid, because we have experience, so that we as a nation must focus on not letting this happen,” said Anis Matta.

Anis Matta refered to Indonesia becoming under Japanese occupation during the Pacific War of World War II as ‘collateral damage’. Furthermore, during the Cold War Indonesia endured a communist insurrection, and after the Soviet Union collapsed Indonesia also underwent the political reforms of 1998.

“We do not know if Afghanistan would become a battlefield, a new model of conflict that can be opened up. Indeed, it is best for us in Indonesia at this time to see what will happen next.

We are concerned with our interests as a nation so that we will not be turned into a collateral damage of other parties’ conflicts,” he said.
According to Anis Matta, the establishment of the current Taliban government in Afghanistan in principle will face three difficult challenges: forming an effective government, reintegrating Afghanistan, and building the economy.

The United States’ (US) decision to leave Afghanistan abruptly has created many rifts, both internally in Afghanistan and in the Central Asian region. That includes relations with China, India, Pakistan, and the Islamic world in general.

Anis said the first challenge would be related to the country’s development process, from politics to the consolidation of the government elite. Then related to the shift in the tribal paradigm, as well as matters related to the preparation for basic statehood, a constitution and the formation of government institutions.

“Afghanistan’s second challenge, in this case under the Taliban, is of course a matter of reintegrating the country back into the international system. I think this is a crucial point because it will relate to the third challenge, namely economic development,” he explained.

The Taliban will face major economic problems in Afghanistan with 54% of its population living below the poverty line, 23% unemployment rate, and a GDP of only around US$ 20 billion. Afghanistan certainly in need of investments from the international community.

Hence, Afghanistan’s future will be determined by many global and regional geopolitical factors. Moreover, the international community mainly views the Taliban as a terrorist movement, not a resistance movement in Afghanistan.

“Can the international community accept the Taliban, who they previously labeled as a terrorist movement? And the response of the international community still varies today. There are many other factors that can affect its effort to form an effective government, which in itself is not easy to realize. For example, we see failed democracies in the Middle East, such as Lebanon, Iraq, Egypt, Libya and Syria,” he concluded.

Meanwhile, former head of Bais TNI retired Admiral Soleman B. Ponto reminded Indonesia to be careful before making any decision regarding Afghanistan.

Do not let Indonesia’s friendship with neighboring countries be damaged by being deemed as taking an excessively wrong stance. Indonesia must first consider the benefits and common interests that would be served because many countries have interests related to Afghanistan including India, Pakistan, Tajikistan, Turkey, Iran, Saudi Arabia, China, the US and Europe.

“If you want to make a relationship, you have to see what our interests and advantages. We should wait and see the conditions, so that there is no misunderstanding between the friendly nations,” he said.

Wawan H Purwanto, BIN Deputy-VII for Communication and Information and its spokesperson, added that Indonesia has an interest in a peaceful Afghanistan, so that relations and stability can be established.

According to Wawan, the Taliban needs international recognition to realize their promises as stated in agreement in Doha, Qatar with the US some time ago.

By gaining the trust of the international community, the Taliban can begin to organize Afghanistan. Without it, the Taliban is just waiting for the time to fall, and Afghanistan be embroiled in a civil war.

“Give the Taliban a chance to show their efforts, even though they cannot completely control the existing militias. In a transition period, it is not easy to overcome the damage in an instant. But day by day, week by week, we still try to help with efforts diplomacy. Hopefully with international cooperation, stability will be created in Afghanistan,” said Wawan H Purwanto.

Meanwhile, Terrorism Observer Haris Abu Ulya from The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), analyzes that the ideology of the Taliban is not as extreme as the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

He also said that the vision of the Taliban as Sunni is not oriented towards building a caliphate like ISIS, but only building the Emirate government based in Afghanistan.

“Until this moment the Taliban have never declared that they will establish a caliphate state, they only mention an Imarah government, a kind of several key ministers. The Taliban today appear different, their way of thinking is different,” said Haris Abu Ulya.

“This of course opens a gap to start building trust, but it’s all still waiting, wait and see. Will this become a country and can get along, and not become a home base for groups that can create problems in other countries,” he adde.

Anis Matta Ingatkan Semua Pihak Tak Biarkan Kekuatan Asing Jadikan Indonesia Sebagai Medan Tempur Baru

, , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak membiarkan kekuatan asing menjadikan Indonesia sebagai medan tempur baru sebagai dampak konflik geopolitik global dan kawasan yang terjadi di Afghanistan.

Hal itu disampaikan Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Tantangan Taliban, Mampukah Membentuk Pemerintahan yang Efektif? di Jakarta, Rabu (1/9/2021) petang.

Dalam diskusi yang dihadiri narasumber Kepala BAIS TNI Laksamana Madya TNI (Pur) Soleman B Ponto, Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan H Purwanto dan Pengamat Terorisme Haris Abu Ulya. Anis Matta mengatakan, terlalu banyak variabel-variabel di luar kendali Indonesia, yang akan timbul dari konflik di Afghanistan ini, sebagai akibat dari krisis global berlarut.

“Ini sebagai salah satu interest nasional kita yang tinggi, supaya kita tidak terseret lagi menjadi collateral damage (kerusakan tambahan). Orang yang konflik, kita yang mati, itu yang perlu kita hindari, karena kita punya pengalaman, sehingga kita sebagai bangsa memang harus fokus,” ujar Anis Matta.

Pengalaman ‘colateral damage’ yang dia maksud, adalah saat terjadi perang pasifik Perang Dunia I, Indonesia menjadi jajahan Jepang. Sementara ketika perang dingin muncul G30S PKI, dan saat Uni Soviet runtuh di tanah air terjadi reformasi tahun 1998.

“Kita tidak tahu apakah nanti Afghanistan menjadi battlefield, satu model konflik baru yang semuanya bisa terbuka. Memang yang terbaik bagi kita di Indonesia saat ini adalah melihat apa yang akan terjadi ke depan. Kita konsen pada kepentingan nasional kita sebagai bangsa supaya, kita tidak terseret lagi dalam collateral damage yang dibuat oleh orang lain,” katanya.

Menurut Anis Matta, pembentukan pemerintahan Taliban di Afghanistan saat ini, pada prinsipnya akan menghadapi tiga tantangan berat, yakni membentuk pemerintahan efektif, reintegrasi Afghanistan, dan pembangunan ekonomi.

Sebab, keputusan Amerika Serikat (AS) meninggalkan Afghanistan menyisakan banyak serpihan, baik di internal Afghanistan, maupun di kawasan Asia Tengah. Itu termasuk hubungan dengan China, India, Pakistan, dan dunia Islam umumnya.

Anis mengatakan, tantangan pertama, akan berhubungan dengan proses pembangunan negara, mulai dari perpolitikan hingga konsolidasi elit pemerintahan. Lalu terkait pergeseran paradigma kesukuan, serta hal-hal terkait penyusunan dasar negara, konstitusi dan pembentukan institusi pemerintahan.

“Tantangan kedua Afghanistan, dalam hal ini di bawah Taliban, tentu saja adalah soal reintegrasi ke sistem internasional. Saya kira ini adalah poin krusial karena akan berhubungan dengan tantangan ketiga, yakni pembangunan ekonomi,” jelasnya.

Taliban akan menghadapi persoalan ekonomi besar di Afghanistan seperti 54% warganya diliputi kemiskinan, dan 23% warga menganggur, dan  PDB-nya  berada di kisaran 20 miliar dollar AS. Sehingga Afghanistan membutuhkan investasi dari komunitas internasional. 

Karena itu, masa depan Afghanistan akan ditentukan oleh banyak faktor geopolitik global dan kawasan. Apalagi dunia internasional kerap memandang Taliban sebagai gerakan teroris, bukan gerakan perlawanan di Afghanistan.

“Apakah masyarakat internasional dapat menerima Taliban, yang tadi banyak menyebutnya dengan gerakan teroris? Dan respon masyarakat internasional saat ini masih berbeda-beda. Banyak faktor-faktor lain yang bisa berpengaruh untuk membentuk pemerintahan yang efektif, yang kemungkinan sulit terealisasi. Misalnya, kita melihat negara-negara demokrasi yang gagal di kawasan Timur Tengah, seperti Libanon, Irak, Mesir, Libya hingga Suriah,” pungkasnya.

Harus berhati-hati
Sementara itu, Mantan Kepala Bais TNI, Laksda TNI (Purn) Soleman B.Ponto, mengingatkan Indonesia harus berhati-hati sebelum mengambil langkah menyangkut Afghanistan.

Jangan sampai persahabatan Indonesia dengan negara tetangga rusak karena dianggap berlebihan dalam mengambil sikap. Indonesia harus melihat dulu apa keuntungan dan kepentingan bersama yang bisa diperoleh.

Sebab banyak negara yang memiliki kepentingan terkait Afghanistan, dari India, Pakistan, Tajikistan, Turki, Iran, Arab Saudi, hingga China, AS dan Eropa.

“Kalau mau hubungan, harus lihat apa kepentingan kita di sana, apa keuntungan di sana. Jangan sampai kita masuk, malah merusak hubungan kita dengan yang ada di sana,” kata Soleman B Ponto.

Dampak lain, yakni munculnya kelompok di Indonesia yang berusaha mengambil manfaat dengan ‘iseng-iseng berhadiah’ mengkampanyekan AS kekalahan AS di Afghanistan di tanah air. 

“Jadi kita sebaiknya menunggu dan melihat kondisi dulu. Sehingga jangan sampai ada yang salah pengertian, para sahabat kita justru marah hanya karena kita terlalu cepat ambil sikap soal Afghanistan,” tandasnya.

Namun, menurut Wawan H Purwanto, Deputi-VII Bidang Komunikasi dan Informasi yang juga juru bicara BIN, mengatakan, Indonesia berkepentingan Afghanistan yang damai, sehingga terjalin hubungan dan stabilitas.

Taliban saat ini, menurut Wawan, membutuhkan pengakuan internasional untuk mewujudkan janji-janjinya seperti tercantum dalam perjanjian Doha, Qatar dengan AS beberapa waktu lalu.

Dengan mendapatkan kepercayaan dunia internasional, maka Taliban bisa memulai penataan Afghanistan. Tanpa hal itu, Taliban tinggal menunggu waktu akan jatuh, dan Afghanistan terlibat perang saudara. 

“Beri kesempatan Taliban untuk bisa menujukkan upaya-upayanya , meskipun dia tidak sepenuhnya bisa  menguasai milisi-milisi yang ada. Dalam masa transisi, tidak mudah mengatasi kerusakan dalam waktu sekejap. Tapi day per day, minggu per minggu, kita tetap coba bantu dengan upaya diplomasi. Mudah-mudahan dengan kerjasama internasional, stabilitas akan tercipta di Afghanistan,” kata Wawan H Purwanto.

Sementara itu Pengamat Terorisme Haris Abu Ulya  dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Haris Abu Ulya, menganilisis bahwa ideologi Taliban tak se-ekstrem Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Ia juga menyebut visi Taliban sebagai Sunni tak berorientasi membangun kekhilafahan seperti ISIS, melainkan hanya membangun pemerintahan  Imarah yang berbasis di Afghanistan saja.

“Sampai detik ini Taliban tidak pernah men-declair akan mendirikan negara khilafah, mereka hanya menyebut pemerintahan yang Imarah,  semacam beberapa menteri utama. Taliban hari tampil ini berbeda, cara berpikirnya berbeda,” kata kata Haris Abu Ulya.

“Ini tentu saja membuka celah untuk mulai membangun kepercayaan, tapi itu semua masih menunggu,  wait and see. Apakah ini  jadi negara dan bisa bergaul, serta tidak menjadi home base bagi kelompok-kelompok yang bisa membuat persoalan di negara lain,” imbuhnya.

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X