Tag: #BivitriSusanti

Selain Minta Fraksi DPR Dihapus, Partai Gelora juga Usul MPR Tak Jadi Lembaga Permanen

, , , , , , ,

Partaigelora.id – Selain mengusulkan penghapusan fraksi di DPR, Partai Gelombang Rakyat (Gelora) juga menginginkan agar Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) RI tidak dijadikan lembaga permananen, cukup adhoc saja. 

“Sebab aneh MPR ini, dipakainya sekali 5 tahun. Kan dia (MPR) dipakainya untuk melantik presiden dan wakil presiden, itu cuma sekali dalam 5 tahun. Habis itu kalau ada amandemen (UUD 1945), ” kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Patai Gelora dalam Gelora Talk bertajuk ‘Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus?’, Rabu (12/1/2022) petang.

Menurut Fahri, keberadaan MPR hanya diperlukan untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden RI, atau untuk melakukan amendemen konstitusi dan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan.

“Jadi buat apa itu, kayak sekarang MPR-nya. Apalagi Pimpinan MPR-nya semua partai politik ada, semua dapat rumah dinas dan mobil dinas. Untuk apa? Buat sosialisai Empat Pilar? Itu tugasnya eksekutif, bukan MPR,” katanya.

Fahri mengkritik fungsi MPR yang melakukan sosialiasi nilai-nilai kebangsaan dan Empat Pilar. Sosialisasi Empat Pilar, lanjutnya, merupakan peran dari eksekutif, sehingga MPR tidak perlu mengambil tugas tersebut.

“Untuk apa MPR melakukan sosialisasi, dia kan assembly, sosialisasi kan oleh eksekutif,” kata Fahri kembali menegaskan.

Karena itu, Fahri menilai MPR pun perlu dilakukan reformasi sistem secara menyeluruh. Sebab, MPR sebagai cerminan dari daulat rakyat juga telah dikangkangi oleh partai politik (parpol).

“Jadi banyaklah yang harus kita ubah kedepan, supaya kita betul-betul melakukan reformasi sistem politik kita agar jangan sampai daulat rakyat dikangkangi oleh partai politik. Itu bisa menjadi bencana,” tegasnya.

Fahri mengungkapkan, saat menjadi Ketua Tim Reformasi Parlemen dan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 telah memberikan 7 RUU kepada Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang kini menjadi Ketua MPR Periode 2019-2024, untuk dibahas lebih lanjut.

“Saya mengajukan 7 RUU kepada Ketua DPR pada waktu itu, untuk diserahkan kepada DPR baru. Di antaranya pemisahan DPR dan DPD, UU Pemisahan DPR dan DPD dan termasuk saya mengusulkan agar MPR itu tidak menjadi lembaga permanen,” katanya.

Namun, 7 RUU tersebut oleh DPR Periode 2019-2024, termasuk usulan agar MPR tidak menjadi lembaga permanen tidak ditindaklanjuti hingga sekarang.

“Jadi kalau tugasnya hanya untuk melantik presiden dan wakil presiden dan bertugas untuk mengamandemen UUD 1945, MPR tidak perlu menjadi lembaga permanen, karena peristiwa itu bukan peristiwa yang terus terjadi,” ujarnya.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengkritisi kinerja pimpinan dan anggota MPR.  Ia mengkritisi gaji ketua dan anggota MPR yang dibayarkan tiap bulan, padahal rapatnya hanya tiga kali setahun.

Pasalnya, MPR sejak awal didesain hanya menjadi lembaga yang terbentuk saat ada sesi bertemu antara DPR dan DPD.

“MPR itu hanya terbentuk saat DPR dan DPD menjalankan tugas konstitusionalnya, sehingga tak perlu ada sistem penggajian tiap bulan,” katanya.

Hal itu membuat beberapa putusan MPR jadi dipertanyakan legitimasinya, apalagi jumlah kehadiran anggota legislatif yang kerap tak memenuhi kuota.

“Produk kebijakan jadi dipertanyakan legitimasi politiknya, walaupun secara legal formal sudah diketok,” tuturnya.

Fahri Hamzah menambahkan, usulan reformasi politik dilakukan Partai Gelora mencakup reformasi sistem kepemiluan hingga sistem ketatanegaraaan termasuk menjadi MPR bukan lembaga permanen dan menghapus fraksi DPR.

Reformasi politik, tegasnya, merupakan bagian dari upaya memurnikan kembali demokrasi sehingga kedaulatan rakyat tidak terdistorsi oleh kekuatan lain, seperti partai politik.

“Jangan sampai kedaulatan rakyat dikangkangi oleh kedaulatan partai politik, itu sangat berbahaya ke depannya,” pungkas Fahri.

Soal Ide Penghapusan Fraksi di DPR, Fahri: Kita Cemas Kekuasaan Legislatif Tidak Nampak Fungsinya

, , , , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, keberadaan fraksi di DPR selama ini membuat kamar legislatif menjadi tidak berdaya, sehingga perlu dilakukan penghapusan.

Sebab, fraksi dinilai menjadi alat kepentingan politik ketua umum partai atau elit-elit politik lainnya, bukan berpikir untuk rakyat atau konstituen

“Jadi berbicara reformasi politik, menghapus fraksi di DPR diantara yang paling penting kita lakukan karena berbagai atau banyak alasan. Alasan pertama tadi kita melihat agak mencemaskan bagaimana sebuah kekuatan di kamar kekuasaan legislatif itu tidak nampak fungsinya,” kata Fahri dalam Gelora Talk bertajuk ‘Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus?’, Rabu (12/1/2022) petang.

Menurut Fahri, saat menjadi Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, ia diminta melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak masyarakat oleh partai sebelumnya, karena dipengaruhi oleh oligarki. Hingga akhirnya ia dipecat, karena memilih melawan.

“Saya sendiri memiliki yurisprundensi, makanya waktu itu saya melawan kendali partai, karena berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Ini yang mesti kita lawan ke depan,” katanya.

Dalam sistem demokrasi, lanjutnya, anggota DPR harus menjadi wakil rakyat, bukan sebaliknya menjadi wakil partai politik. Menurutnya, jika terus begitu pandangannya akan membahayakan.

Fahri menilai adanya kekeliruan tersebut lantaran adanya kekeliruan paradigmatik yang memandang apa peran partai politk dalam fraksi.

“Ketika kita sudah memilih sistem demokrasi, mau tidak mau maka kita harus memurnikan demokrasi itu, tidak saja sebagai nilai-nilai luhur, tetapi juga dalam sistem pemilu dan sistem perwakilan kita,” tegasnya.

Terkait keberadaan fraksi ini, jelas Fahri, akhirnya memunculkan sekelompok orang di balik layar yang terlihat menyetir parlemen. Akibatnya, hubungan antara eksekutif dengan legislatif, menjadi tidak sehat dan bisa menginvasi yudikatif.

“Fraksi ini sebenarnya ada dalam tradisi totaliter seperti dalam tradisi negara komunis. Di tradisi demokrasi, perannya negara totaliter itu, ya partai politik adalah negara itu sendiri. Makanya hampir tidak ada jarak dengan partai politik dengan jabatan publik,” ungkapnya.

“Artinya sehari-hari mereka lebih nampak sebagai wakil partai politik. Karena itu lah reformasi politik perlu dilakukan,” imbuhnya.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, keberadaan fraksi ini juga menjadi kegelisahan dari PSHK. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terungkap bahwa ketua fraksi atau ketua kelompok fraksi (kapoksi) di komisi-komisi memiliki kekuatan menyakinkan seseorang untuk memenangi berbagai ‘pertarungan’

“Hasil penelitian kami, jauh lebih efisien kalau kita langsung lobby kepada ketua fraksi atau ketua kelompok fraksi yang ada di komisi-komisi. Kita bisa meyakinkan seseorang, kita bisa memenangkan pertarungan,” kata Bivitri.

Seharusnya, yang memiliki power untuk berbicara mengenai aspirasi masyarakat adalah setiap anggota DPR, bukan fraksi atau parpol.

“Karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam UU MD3, fraksi perlu dihapus. Sebab dalam konstitusi, fraksi juga tidak diatur, sehingga secara konstitusional ketika dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi saya kira akan dikabulkan,” katanya.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research Pangi Syarwi Chaniago menilai, penguasaan fraksi dinilai akan memudahkan oligarki  berkomunikasi dalam membuat keputusan, dan tidak terlalu menimbulkan kegaduhan politik seperti dalam pengesahan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu dan keputusan penundaan Pilkada sekarang.

“Presiden jangan-jangan memang sangat  menyukai pakai fraksi, tidak terlalu susah untuk berkomunikasi, karena garis komandonya sangat gampang. Itu  mencerminkan DPR ya tukang stempel, mengamini apa maunya semua pemerintah, mana yang tidak diamini,” katanya.

Karena itu, Pangi setuju keberadaan fraksi dihapuskan saja karena lebih banyak mudharatnya, serta lebih berpihak kepada kepentingan para bohir, ketimbang masyarakat.

Akibatnya, banyak anggota DPR memilih menuruti kemauan fraksi dan partainya daripada sikap berlawanan yang bisa berujung PAW dirinya sebagai anggota DPR.

“Kalau dilihat DNA-nya, fraksi ini banyak kepentingan tertentu, bukan kepentingan konstituen, sehingga mengganggu fungsi-fungsi lembaga perwakilan kita yang semestinya untuk mengamankan agenda-agenda rakyat,” katanya.

“Itu artinya yang menjadi menjadi penyebab kenapa presiden sangat mudah mengendalikan DPR kita, karena bisa mengendalikan partai politik, termasuk fraksi di dalamnya bisa dikendalikan,” sambungnya.

Sebaliknya, Ketua DPR-RI Periode 2009-2014 Marzuki Alie berpandangan, keberadaan fraksi di DPR tidak perlu dihapus, justru kekuatan absolut dari seorang ketua umum yang perlu direformasi dalam sistem kepartaian di Indonesia.

“Ini ada partai, partai ini dimiliki ketua umum. Padahal dalam sistem politik modern, AD/ART-nya semua dibatasi, tidak ada kekuasan absolut. Memangnya kalau fraksi dihapus, ketua umum tidak bisa mecat, ya tetap bisa,” kata Marzuki Alie

Melihat sosok Fahri Hamzah, Marzuki Alie menaruh harapan besar kepada Partai Gelora dapat memperjuangkan semua aspirasi masyarakat dalam proses perjuangannya hingga nantinya duduk di Senayan.

“Saya berharap Partai Gelora sebagai partai politik harus mengembangkan sikap partai yang mau mendengarkan semua aspirasi yang disampaikan masyarakat, dan digunakan nanti di lembaga perwakilan,” pungkasnya.

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X