Tag: #DemokrasiIndonesia

Fahri: Omnibus Law Tidak Cocok Dengan Demokrasi Kita !

, , , , , ,

JAKARTA – Gelombang penolakan rakyat terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020) lalu, semakin membesar dari hari ke hari. Hal itu terlihat dari aksi unjuk rasa yang terjadi di Jakarta kemarin, yang dihadiri jutaan massa.

Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fahri Hamzah menilai UU Cipta Kerja tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merampas hak-hak individu, serta hak berserikat atau berkumpul dan memberikan kewenangan luar biasa kepada lahirnya kapitalisme baru.

“Tradisi demokrasi yang demokratis selama ini, falsafahya akan diganti dengan nilai-nilai kapitalisme baru yang merampas hak-hak individual dan berserikat atau berkumpul. Mereka juga diberikan kewenangan untuk memobilisasi dana, tanpa dikenai peradilan. Ini anomali yang berbahaya sekali,” kata Fahri dalam keterangannya,Kamis (15/10/2020).

Fahri menegaskan, UU Omnibus Law Cipta Kerja itu diadopsi pemerintah dan DPR dari sistem komunis China, yang melihat kapitalisme baru ala China ini lebih menjanjikan ketimbang kapitalisme konservatif model Amerika dan Eropa.

“Sekarang ada kapitalisme baru yang lebih menjanjikan kapitalisme komunis China. Dari situ diambil kesimpulan, kita harus mengambil jalan mengikuti pola perkembangan ekonomi kapitalisme China yang sebenarnya tidak cocok dengan kita. China dikendalikan dengan sistem komunis, sementara Indonesia dikendalikan dengan sistem demokrasi,” katanya.

Hal inilah, menurut Fahri, tidak disadari pemerintah dan DPR yang ternyata tidak mampu memahami madzab atau falsafah dibelakang UU Omnibus Law Cipta Kerja ini secara utuh.

Ketidakpahaman terhadap madzab kapitalisme baru China ini dialami seluruh partai politik. Karena sejak awal, seluruh partai politik terlibat secara aktif melakukan sosialisasi dan pembahasan, termasuk partai yang diujungnya menolak, karena ingin mengambil keuntungan dari peristiwa ini saja.

“Jangan lupa dibalik keputusan ini, ada persetujuan lembaga DPR dan proposal dari pemerintah, banyak hal yang diabaikan tiba-tiba disahkan, ini menjadi pertanyaan besar. Disinilah, saatnya kita harus melakukan reformasi terhadap partai politik dan lembaga perwakilan,” katanya.

Karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini mempertanyakan untuk kepentingan siapa, sebenarnya UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut yang dipaksakan keberadaannya segera ada dengan pengesahan percepatan.

Sebab, para investor dari Amerika dan Eropa justru ramai-ramai mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia menolak UU Cipta Kerja, karena tidak diangggap tidak bersahabat dengan investor.

“Sekarang investor Amerika dan Eropa ramai-ramai menulis surat, ini kekeliruan dan mereka menolak undang-undang ini. Kalau investor Amerika dan Eropa menolak, undang-undang ini untuk investor yang mana,? tanya Fahri.

Lebih lanjut Fahri mempertanyakan, hal ini tentu akan menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah dalam menarik investasi asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.

Disamping itu, investor juga kerap mempersyaratkan, apakah negara tersebut menghargai demokrasi atau tidak merusak lingkungan dalam menanamkan modalnya di suatu negara.

“Ini akan menjadi problem tersendiri, karena madzab UU Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak berasal dari pemikiran negara demokrasi sepert Perancis, yang menghargai demokrasi dan tidak merusak lingkungan, serta tidak merampas hak individu dan berserikat. Undang-undang ini, madzabnya dari kapitalisme China,” tegasnya.

Fahri mengaku sejak awal sudah mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak membuat UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menggabungkan 79 UU menjadi 1.200 pasal, karena akan memicu gelombang demontrasi rakyat besar-besaran dan ujung-ujungnya akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

“Dari awal saya sarankan ke Presiden, ngapain bapak membuat undang-undang baru. Duduklah satu meja dengan konstituen dan stakeholder, apa yang mau dipercepat, misalkan perizinan, kepastian dalam berusaha dan akuisisi lahan, pakai saja undang-undang yang ada. Di sinkronisasi saja, lalu buatlah peraturan pemeritahnya, PP-nya,” ujarnya.

Namun, sekarang nasi sudah menjadi bubur, UU Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan DPR bersama pemerintah, sehingga menimbulkan kemarahan rakyat dimana-mana.

UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan kehendak rakyat dan menciptakan ketidakpastian baru bagi rakyat dan investor. Akibatnya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini akan menjadi sia-sia.

“Untuk teman-teman yang demonstrasi harus punya konsep dasar dan teori gambar besarnya. Agar kita tidak dijebak terus untuk marah, saling menfitnah, saling ngomel, tapi pada dasarnya tidak menyelesaikan masalah. Sementara disana ada pesta pora orang lain diatas perkelahian kita yang terus menerus tidak ada henti-hentinya,” pungkas Fahri.

Fahri: Penguasa Perlu Mulai Mengeja Kembali ‘Alif Ba Ta’ Demokrasi Indonesia

, , , , , ,

JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, negara sebelumnya percaya bahwa pikiran harus dikontrol sejak dini sehingga negara menentukan apa yang boleh dibaca dan apa yang boleh dikatakan.

Untuk mengontrol itu, pemerintah kemudian menyelenggarakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai alat kontrol.

“Ini yang boleh dan ini yang tidak boleh secara sepihak. Tapi kita telah hentikan kekeliruan tersebut,” kata Fahri dalam keterangannya, Jumat 11 September 2020.

Menurut dia, konstitusi telah mengatur perbedaan pendapat adalah sebuah keberkahan. Sehingga negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.

“Konstitusi kita sekarang percaya bahwa ide dan pikiran hanya bisa dilawan dengan ide dan pikiran,” ujarnya.

Karena itu, Fahri menegaskan, kekuasaan sebesar apapun tidak bisa memusnahkan pikiran. Sebab, pikiran selalu punya cara untuk menang di depan kekuasaan sebesar apapun.

“Kita sudah pernah dengar dalam sejarah pemuda Ibrahim di depan Raja Namrudz yang memberikan argumen pikiran melawan kekuasaan. Ibrahim adalah pemuda ‘Good Looking’ yang cerdas mempertanyakan tradisi menyembah berhala saat itu,” ujarnya.

Hal ini juga dilakukan oleh seorang pemuda bernama Muhammad yang datang dengan ide ‘Islam’ di tengah masa jahiliyah. Ide tentang Islam ini membuat banyak orang tertarik, tetapi kaum mapan justru mencoba mematikannya dengan kekuasaan karena merasa terancam. Bahkan merencanakan pembunuhan dan perang terhadap Nabi Muhammad SAW.

“Apa yang terjadi? Ide Islam bersemi dan sampai sekarang ia menjadi agama yang terus berkembang, sehingga kita pun di Indonesia menjadi pemeluk Islam yang terbesar di dunia. Ini karena ide, kalau benar ia tidak bisa dilawan. Kebenaran ide hanya bisa dilawan dengan membuktikannya salah!” katanya.

Sebaliknya, yang terjadi dengan komunisme yang mulai hilang di dunia, bukan karena diperangi seperti Islam, tetapi karena ide pikirannya memang tidak benar sejak awal.

Di Amerika dan di semua negara demokrasi ide komunis tetap ada, tapi tidak bisa menang karena idenya kalah ‘dalam pertandingan’ demokrasi dan politik.

“Idenya salah! Ide komunisme mulai hilang di dunia, bukan karena diperangi tetapi karena ia tidak benar,” tandas Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia ini.

Fahri menilai andaikata Partai Komunis di Indonesia tidak melakukan pengkhianatan, tentu PKI di Indonesia tidak akan dilarang. Padahal ide komunis itu akan mati dengan sendirinya, tanpa harus diperangi.

“Komunis akan mati dengan sendirinya bahkan di negara yang partai komunisme sendiri berasal, komunisme sudah tinggal bungkus belaka,” ujarnya.

Sementara terkait UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Indonesia, Fahri menilai sebagai jalan pikiran yang diambil negara dari sebuah perbedaan pendapat, dimana negara memfasilitasi perbedaan pendapat untuk melindungi kebebasan berkumpul dan berserikat.

“Demokrasi memang ide yang susah dan tidak mudah dimengerti. Tetapi setidaknya, seandainya para penguasa mau mendengar saja tentu ceritanya beda,” jelas Fahri.

Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini lantas menyentil Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang berencana melakukan sertifikasi terhadap 8.200 penceramah yang ditargetkan selesai pada September 2020 ini, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat.

Hal itu akibat Menag tidak mengeja ‘alif ba ta’ demokrasi Indonesia.

“Saya mohon maaf menulis soal-soal elementer ini. Coretan kecil ini saya buat agar kaum intelektual di samping pak Menteri Agama mulai mengeja kembali, alif ba ta dari demokrasi kita. Takkan sulit jika kita mau,” pungkas Fahri.

Link terkait:

https://fixpekanbaru.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-41735930/fahri-penguasa-perlu-mulai-mengeja-kembali-alif-ba-ta-demokrasi-indonesia

Sumber: Fix Pekanbaru Pikiran Rakyat

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X