Tag: Ismail Fahmi

Rakyat Lelah dengan Pembelahan, Anis Matta: Kita Perlu Pemimpin Pemersatu

, , , , , , , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, jualan polarisasi adalah jualan politik paling menguntungkan dalam jangka pendek, akibat maraknya politik identitas.

Karena itu, isu polarisasi di masyarakat memang sengaja dikapitalisasi oleh partai-partai politik yang memiliki ideologi kuat. Padahal polarisasi bisa berdampak langsung dengan disintegrasi, terlebih pada kondisi krisis saat ini.

“Polarisasi ini adalah jualan politik yang paling menguntungkan dalam jangka pendek. Tapi dalam jangka panjang, tidak memberikan literasi, pendidikan politik dan demokrasi yang baik kepada masyarakat,” kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Polarisasi Politik Pemilu 2024: Akankah Kembali Berulang?, Rabu (29/6/2022) sore.

Menurut Anis Matta, dalam situasi krisis berlarut saat ini yang dibutuhkan adalah politik pemersatu, bukan politik identitas. Sebab, polarisasi justru akan memperparah krisis dan membuat pemerintahan semakin tidak efektif, serta tidak mampu menangani krisis.

“Kita baru memasuki suatu masa pembelajaran demokrasi yang relatif tidak terlalu lama, apabila kita masukkan isu masalah polarisasi ke dalam krisis global sekarang, terutama krisis ekonomi, kita punya suatu masalah yang lebih eksistensial, yaitu ancaman disintegrasi, walau sekarang mungkin levelnya belum terlihat sampai ancaman disintegrasi secara langsung. Jadi jualan polarisasi dalam pemilu sangat merusak bangsa,” tegasnya.

Anis Matta menilai, rakyat sudah lelah dengan kondisi pembelahan yang terjadi selama ini, sehingga perlu segera diakhiri. Apalagi beban hidup masyarakat sehari-hari sudah semakin berat saat ini, akibat ancaman inflasi global..

“Kalau dibakar lagi dengan pembelahan, bisa terjadi revolusi sosial di masyarakat. Karena itu, kita perlu melahirkan pemimpin pemersatu. Rakyat sudah lelah dengan pembelahan,” ujar Anis Matta.

Partai Gelora, kata Anis Matta, mengajak semua pihak untuk melawan upaya dari partai politik atau kelompok tertentu yang memiliki ideologi kuat, yang masih menjadikan isu polarisasi dan politik identitasnya sebagai jualan politiknya di Pemilu 2024.

“Mari sama-sama kita melakukan gerakan melawan polarisasi. Tujuan pendirian Partai Gelora antara lain untuk mengakhiri kegaduhan akibat isu polarisasi dan politik identitas,” tegas Anis Matta.

Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar meminta para akademisi dan cendekiawan mulai memberikan narasi-narasi yang mencerahkan dan membesarkan hati kepada masyarakat, sehingga menumbuhkan rasa optimisme.

“Tapi kita juga harus memilih pemimpin terbaik, bukan pemimpin pencitraan. Dari 250 juta penduduk Indonesia, masa enggak ada yang terbaik. Kita jangan terjebak politik pencitraan dan akhirnya kita menyesal, karena salah memilih pemimpin,” kata Musni Umar.

Musni Umar mengapresiasi upaya Partai Gelora dalam memperbaiki situasi dan kondisi bangsa dengan tidak ikut-ikutan memproduksi politik identitas. Bahkan berusaha keras untuk mengakhiri polarisasi di masyarakat yang sudah terjadi sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

“Saya kira Partai Gelora akan mendapatkan simpati dari masyarakat, karena ingin memperbaiki negeri ini, sebagaimana yang kita ingin juga. Kita berharap Partai Gelora bisa melakukan perubahan besar,” kata Sosiolog ini.

Founder Drone Emprit Ismail Fahmi mengajak para akademi, aktivis dan pihak-pihak yang konsen ingin menangkal politik identitas dan polarisasi dengan membentuk klaster baru, klaster ketiga di luar klaster kiri (cebong) dan kanan (kampret).

“Klaster ini bisa menjadi solusi, mengurangi polarisasi dan menekan anti politik identitas. Ketika ada politik identitas, kita bongkar di sini. Ini seperti klaster matahari, kita buat menjadi terang, sehingga para buzzer tidak bisa sembunyi lagi dalam kegelapan,” kata Ismail Fahmi.

Selama ini, kata Fahmi, karena tidak memiliki klaster tersendiri, ia mengaku kerap diserang oleh buzzer cebong dan kampret apabila membongkar sesuatu yang berkaitan dengan mereka.

“Mudah-mudahan Pak Anis Matta bisa mensupport hal ini. Klaster ketiga ini merupakan solusi taktis untuk mengakhiri politik identitas dan polarisasi,” kata Founder Drone Emprit.

Peneliti Litbang Kompas Gianie menilai, kekhawatiran terjadinya polarisasi dan politik identitas akan berlanjut pada pada 2024 sangat mungkin terjadi.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Litbang Kompas satu bulan lalu, dimana gejalanya mulai menunjukkan peningkatan ekskalasi.

“Sehingga perlu ada gerakan bersama bersama, baik masyarakat, pemeritah, partai politik dan dari media juga sebagai pilar keempat demokrasi untuk bersama-sama untuk meningkatkan literasi, mengakhiri pembelahan saat ini,” kata Gianie.

Gianie berharap semua pihak saat ini bisa menyuguhkan narasi yang mempersatukan, meningkatkan keakraban dan merangkul semua pihak dengan program-program yang mereka buat.

“Tokoh-tokohnya harus mempersatukan atau meningkatkan keakraban sekarang. Sementara program-program yang dibuat harus merangkul semua kalangan, bukan hanya untuk pendukungnya saja. Dan Media juga harus memberitakan hal-hal yang benar, bukan sebaliknya, ” pungkas Gianie.

Ada Agenda Tersembunyi, Anis Matta: Ide Penundaan Pemilu Merusak Tatanan dan Stabilitas Demokrasi

, , , , , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, tidak ada alasan sama sekali baik secara politik, ekonomi, hukum dan pandemi untuk melakukan penundaan Pemilu 2024 seperti yang diusulkan oleh tiga ketua umum partai koalisi pro pemerintah.

“Pada dasarnya di Partai Gelora Indonesia tidak tertarik, karena tidak ada alasan yang cukup memadai untuk melakukan penundaan pemilu, baik alasan politik, ekonomi, hukum, pandemi. Tidak satu satupun alasan dari semua alasan itu, yang cukup untuk melakukan penundaan pemilu,” kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk “Heboh Gonjang-ganjing Tunda Pemilu 2024, Apa kata Survei?”, Rabu (23/3/2022) petang.

Diskusi yang digelar secara virtual ini dihadiri Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra, Founder Drone Emprit & Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi, dan Peneliti Litbang KOMPAS Yohan Wahyu.

Menurut Anis Matta, sejak awal isu tersebut digaungkan tidak ada alasan atau logika menarik yang dipakai. Sehingga Partai Gelora enggan terburu-buru mengambil sikap ketika isu penundaan pemilu digulirkan.

Kendati begitu, Anis mengakui masih akan tetap mengikuti perkembangan isu penundaan pemilu agar mendapatkan gambaran secara detil.

“Dari awal kita tidak melihat isu ini sebagai isu yang menarik karena logika yang diangkat dibalik. Dan dalam banyak situasi, krisis ekonomi sebenarnya bukan alasan untuk menunda pemilu, tapi kadang justru alasan untuk mempercepat pemilu,” katanya.

Berdasarkan hasil survei, kata Anis Matta, juga ada perbedaan jauh antara opini publik di sosial media (sosmed) yang menolak penundaan pemilu dengan pernyataan para elit yang menghendaki penundaan pemilu.

“Upaya menekan arus opini publik secara terus menerus, menurut saya jauh lebih berbahaya ketimbang wacana penundaan pemilunya sendiri,” katanya.

Karena siapapun yang berada dibalik ide penundaan pemilu ini, benar-benar sudah terlalu jauh jaraknya dengan ruh masyarakat, dengan perasaan publik, dengan pikiran mereka sendiri.

“Mereka seperti ada di alam yang lain, sementara rakyat kita ini ada di alam yang lain pula. Ini seperti entiti yang hidup di dua alam yang berbeda, menurut saya ini yang lebih berbahaya,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan, bahwa yang kita hadapi sebenarnya, bukan sekedar krisis ekonomi atau pandemi saja, tapi sudah menyentuh pada krisis sosial yang jauh lebih buruk.

Dimana sebagian elitnya seperti tidak memahami masalah, tetapi kemudian mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar dan mendahulukan kepentingan jangka pendek mereka.

“Dorongan penundaan pemilu ini pasti dilatarin agenda yang tersembunyi, terbatas pada kelompok tertentu, orang-orang tertentu dan bersifat sangat jangka pendek. Betapa jauhnya elite kita dari rakyat. Ini situasi yang buruk,” tandasnya.

Ketua Umum Partai Gelora ini mengatakan, upaya mengorbankan kepentingan bangsa dan demokrasi melalui penundaan pemilu bisa menyimpan benih tertentu bagi satu pergerakan sosial.

Situasi seperti ini, lanjutnya, semakin memperlihatkan kepada publik terjadinya krisis kepemimpinan, bahwa para elit tidak terkoneksi secara pikiran maupun emosional dengan rakyat.

“Jauh betul dari yang diinginkan oleh rakyat. Karena itu, wacana penundaan pemilu ini, Insya Allah akan gagal dengan sendirinya,” tegas Anis Matta.

Anis Matta menilai semua pihak berkepentingan untuk menjaga konstitusi dan tegaknya demokrasi yang merupakan amanat reformasi 1998 dari kepentingan jangka pendek kelompok tertentu.

“Kita harus membongkar apa agenda tersembunyi dibalik itu, karena ini jelas-jelas bisa merusak tatanan dan stabilitas demokrasi kita,” katanya.

Ia berharap semangat perlawanan civil society ini, harus terus dikembangkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat.

“Mudah-mudahan ini bisa mengilhami rakyat kita untuk memiliki sikap yang jauh lebih dewasa,” katanya.

Ketua KPU Ilham Saputra mengaku tak mau ambil pusing dengan isu penundaan pemilu 2024. Dia menegaskan KPU bekerja dengan taat menjalani konstitusi.

“Kalau terkait dengan penundaan pemilu, KPU enggak mau ambil pusing dengan isu itu, karena KPU ini penyelenggara bekerja berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku,” kata Ilham.

KPU sendiri telah mengusulkan anggaran sebesar Rp76 triliun untuk pesta demokrasi lima tahunan. KPU, lanjutnya, telah menyurati DPR untuk segera menggelar rapat kerja pengesahan anggaran Pemilu 2024.

“Tetapi Komisi II DPR menginginkan agar pembahasan ini dilakukan oleh KPU terpilih 2022-2027. Menurut hemat kami akan lebih baik, karena KPU bekerja sustainable, bekerja berkesinambungan, akan lebih baik tahapan, jadwal, dan program ini dibahas di periode kami,” kata Ilham.

Ilham mengingatkan ada dua tahapan pemilu krusial tahun ini, yaitu pendaftaran partai politik peserta pemilu dan penentuan daerah pemilihan. Oleh karena itu, KPU membutuhkan kepastian dan ketersediaan anggaran untuk memulai kedua tahapan itu.

Selain itu, kata Ilham, imbas belum disahkannya anggaran untuk kebutuhan pemilu ini mengganjal pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Jadwal, Tahapan, dan Program Pemilu Serentak 2024.

Ilham tidak ingin masuk dalam polemik soal dugaan skenario KPU terpilih Periode 2022-2027 dimanfaatkan untuk memuluskan ide penundaan pemilu seperti yang dilontarkan oleh pengamat politik. Ia memastikan KPU mulai dari tingkat pusat hingga daerah satu suara menyiapkan seluruh pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.

“Enggak ada hubungan bola panas ada di kami. Kami hanya ingin kemudian memastikan seluruh tahapan pemilu 2024 sudah kami siapkan PKPU nya, sudah kami siapkan perangkat perangkatnya. Sudah kami siapkan beberapa hasil riset yang sudah kami lakukan, kami juga sudah merancang tentang penguatan IT terhadap penyelenggara pemilu 2024,” jelasnya.

Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi mengungkapkan, perbincangan tentang penundaan pemilu dan jabatan presiden tiga periode, sangat tinggi pada akhir Februari hingga awal Maret 2022. Puncak pembahasan terjadi pada 2 Maret, dengan lebih dari 6 ribu mention.

“Terutama didorong pernyataan Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan, yang mengklaim 110 juta netizen mendukung penundaan pemilu,” kata Ismail.

“Secara umum, publik percaya bahwa rezim ada di belakang ramainya wacana penundaan pemilu dan masa jabatan presiden tiga periode,” imbuhnya.

Menurutnya, banyak perbincangan didorong tingginya penolakan warganet atas wacana tersebut. Kemudian, pemberitaan sangat tinggi pada 7 Maret dengan 1.918 mentions.

“Hal itu didorong komentar Presiden Joko Widodo, bahwa dia patuh pada konstitusi. Publik mengkritisi respon presiden, yang dinilai berbeda pada wacana tiga periode,” ujarnya.

Sebab pada 2019, Jokowi sebut wacana tiga periode menampar mukanya, Namun belakangan Presiden sebut wacana itu sebagai bagian dari demokrasi. Netizen terlihat kompak menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

“Selain mengamplifikasi pemberitaan dan pernyataan para tokoh yang menolak penundaan pemilu hingga 2027, netizen juga mengkritisi berbagai dukungan atas wacana perpanjangan masa jabatan Presiden,” tandasnya.

Peneliti Litbang KOMPAS Yohan Wahyu menambahkan, berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas ditemukan adanya gerakan politik yang dilakukan para elit untuk menguatkan penundaan pemilu dengan alasan kepentingan nasional.

Padahal alasan ekonomi yang dijadikan alasan untuk pemulihan ekonomi nasional hanya sekitar 6,9 persen. Publik yang tidak percaya, justru jauh lebih besar mencapai 23, 4 persen. “Publik melihat itu hanya untuk kepentingan politik mereka saja,” kata Yohan.

Selain itu, sekitar 80 persen suara publik juga menyatakan, bahwa penundaan pemilu tidak berkorelasi dengan pemulihan ekonomi nasional.

“Survei yang kita lakukan semakin memperkuat hasil survei dari lembaga survei lain soal penundaan pemilu, bahwa mayoritas publik menolak penundaan pemilu,” katanya.

Yohan menegaskan, upaya orkestrasi yang dibangun untuk mempengaruhi opini publik tidak membuahkan hasil seperti upaya pembahasan penundaan pemilu yang rencananya digelar Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) di Balikpapan, Kalimantan Timur pada Senin 21 Maret 2022 lalu, akhirnya dibatalkan setelah mendapatkan protes dari Ketua KPU RI Ilham Saputra.

“Saya melihat ada orkestrasi yang dibangun yang coba mempengaruhi opini publik untuk melakukan penundaan pemilu. Setelah survei ini, ternyata masih berlanjut dengan beredarnya surat Kemenko Polhukam yang kemudian diklarifikasi. Saya kira nanti akan muncul banyak lagi di lapangan, tetapi mayoritas publik tetap menolak,” tegas Peneliti Litbang KOMPAS ini.

Anis Matta: Pemerintah Tak Perlu Paranoid, Mural Itu Karya Seni

, , , , , , , , ,

Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai di alam demokrasi,  pemerintah tidak perlu paranoid terhadap maraknya mural yang bermunculan di berbagai daerah akhir-akhir ini.

Sebab, mural merupakan karya seni jalanan yang memliki peradaban yang cukup lama, disamping memiliki energi kreativitas dan energi survival untuk bertahan hidup. Karena itu, pemerintah diminta tidak paranoid, apalagi merasa terganggu.

“Kalau lihat emosinya, yang menyertai komen publik, ada takut sedih dan senang seperti makanan Thailand, asam, pedas manis.  Jadinya  rasanya nano-nano, campur-campur seperti warna-warni yang ada dalam mural itu. Karya seni itu seharusnya harus dihargai dan diapresiasi.,” kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk ‘Mural yang Viral, Dihapus di Dinding Menjalar ke Medsos’ di Jakarta, Rabu (8/9/2021).

Dalam diskusi yang digelar virtual dihadiri oleh Budayawan Ridwan Saidi, Seniman dan Pelukis Kawakan Iwan Aswan, serta Founder Drone Emprit Ismail Fahmi itu, Anis Matta mengatakan, mural bersentuhan dengan realitas kehidupan dan bisa juga memberikan pesan atau energi positif buat pemerintah.

“Mural seharusnya bisa menjadi energi positif, sehingga pemerintah tidak perlu paranoid, justru kita harus mengarahkan dengan semangat mengakomodasi, energi kreatif dan survival ini. Mural akan memberikan energi positif, kalau dia diakomodasi secara baik,” katanya.

Anis Matta meminta pemerintah tidak terlalu reaktif dengan menghapus karya seni tersebut, yang berisi kritik sosial dari realitas kehidupan. Sebab semakin dihapus, malah mural-mural baru bisa bertambah banyak.

“Kalau pemerintah sensitif, justru akan bermunculan mural-mural lainnya. Bahkan akhir-akhir ini sudah mulai merambah di media sosial (medsos),”ungkapnya.

Anis Matta juga meminta pemerintah tidak perlu sensitif dengan mural yang sudah berkembang dari dinding sampai ke media sosial seperti saat ini.

“Jadi mural harusnya dikembalikan ke karya seni yang seharusnya diapresiasi. Mural bisa dikembangkan menjadi produk seni dan masuk dalam program pengembangan ekonomi kreatif yang bisa mendatangkan wisatawan,” katanya.

Selain itu, Anis Matta meminta masyarakat dalam menyampaikan ekspresi juga harus ada etika kesopanan, termasuk mengekspresikan dalam bentuk mural. Sebab kebanyakan mural yang selama ini dibuat terkesan kritik, terutama pada pemerintah atau penguasa.

“Mudah-mudahan saran kita didengar pemerintah, sehingga para seniman mural mendapatkan ruang besar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga demokrasi kita punya makna lain, demokrasi yang punya art, demokrasi yang punya seni,” pungkas Anis Matta.

Sementara itu, Budayawan Ridwan Saidi mengatakan mural merupakan salah satu karya seni tertua yang sudah ada sejak ribuan tahun. Dia mencontohkan di sejumlah goa di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara ditemukan mural dalam bentuk tulisan dan gambar maupun grafis yang memberikan pesan di masa itu.

Bahkan mural-mural itu juga telah menggambarkan sistem kekuasaan atau pemerintahan di masanya. Dengan mural-mural itu para sejarawan bisa mendapatkan gambaran peradaban masa lalu.

Sedangkan Seniman dan Pelukis Kawakan Iwan Aswan mengatakan, semakin pemerintah bereaksi keras terhadap para seniman mural hingga menangkapnya, misalkan. Maka para seniman mural tersebut akan melakukan perlawanan, karena mereka memiiki idealisme dalam dirinya.

“Bisa jadi mereka malah bangga kalau ditangkap karena merasa tujuannya berhasil dalam menyampaikan pesan lewat mural,” kata Iwan Aswan .

Iwan Aswan menyayangkan aksi penghapusan mural-mural yang berpotensi menghambat ekspresi para pembuatnya.

Ia menegaskan mural tidak perlu ditakuti karena menjadi salah satu bentuk karya seni,  serta kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam suatu media, namun tetap berada dalam koridor etika dan moral. 

Founder Drone Emprit Ismail Fahmi menambahkan, pemerintah harus bersikap lebih bijak, bukan menonjolkan emosinya dalam menyikapi maraknya mural bernada kritik terhadap kondisi sosial di masyarakat. Sebab, perlawanan dari penghapusan mural, ternyata bukan hanya dilakukan para pembeci pemerintah, tetapi dilakukan oleh para nitizen.

“Padahal mural sangat bermanfaat juga buat pemerintah, apabila disikapi secara lebih bijak. Kalau nggak ditangani dengan baik, jadinya nanti endemik seperti sekarang ada perlawanan. Nggak perlu dihapus, biarkan saja, nanti akan turun sendiri, kalau dihapus nanti jadi bensin lagi, jadi bahan bakar semangat perlawanan baru,”  kata Ismail Fahmi.

Menurut Fahmi, para pembuat mural, bukanlah seniman sembarangan, tetapi seniman kontemperer, yang bisa menggambar dan menggabungkan teknologi yang baru. Sehingga wajar apabila mural menjalar ke medsos seperti Twitter, karena mereka mengerti teknologi.

“Seniman mural, bukan seniman biasa, dia seniman yang mengerti teknologi. Mereka seniman kontemporer yang bisa mengambar dan menggabungkan teknologi. Menariknya seniman mural ini, gabungan seniman dan anak milineal,” ujarnya.

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X